ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membacakan putusan 40 perkara sengketa hasil Pilkada 2024. Hasilnya, sebanyak 25 dari 40 daerah yang dibacakan putusannya harus melaksanakan pemungutan suara ulang; baik di semua tempat pemungutan suara maupun yang sebagian saja. Pemungutan Suara Ulang harus digelar karena MK menemukan sejumlah persoalan di daerah-daerah tersebut.

MK meminta KPU Daerah terkait untuk melakukan pemungutan suara ulang dengan pertimbangan hukum yang berbeda di setiap daerah. Beberapa daerah yang diminta untuk Pemilu ulang antara lain: Pilgub Papua, Pilbup Serang, dan Pilwakot Banjarbaru.

Terkait putusan ini, MK mengungkapkan bahwa prinsip jujur dan adil belum ditegakkan secara serius dalam Pilkada 2024 lalu. Selain itu, putusan MK ini juga mengindikasikan masih adanya penyelenggara pemilihan yang tidak profesional dan kredibel dalam melaksanakan tugasnya sehingga ada sejumlah calon kepala daerah terpilih yang harus didiskualifikasi oleh MK karena tidak memenuhi syarat pencalonan.

Menyikapi putusan MK tersebut, Komisi II DPR RI akan mengevaluasi sistem rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu menyusul pemilihan suara ulang Pilkada 2024 di 25 wilayah berdasarkan putusan MK. Momentum ini akan dijadikan pintu masuk untuk menata sistem politik di Indonesia.

Lalu, ada di mana masalahnya ketika banyak pemungutan suara di Pilkada kemarin mesti diulang? Apakah regulasinya yang longgar, atau pada eksekusi, dan supervisi pelaksanaanya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit)/komisioner KPU periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay. (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News