Semarang, Idola 92.6 FM – Menyikapi penahanan Sekjennya Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PDI Perjuangan meminta kepada seluruh jajaran kader dan keluarga besar partai tetap tenang. PDI-P pun belum menunjuk pelaksana tugas sekjen PDI-P untuk menggantikan Hasto. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri langsung mengendalikan komando partai.
Tak sebatas itu, yang kemudian menjadi sorotan publik, Megawati juga menginstruksikan kepada semua kader PDI-P yang terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk menunda perjalanan menuju kegiatan retret kepala daerah di Akmil Magelang, Jawa Tengah. Sekiranya telah dalam perjalanan menuju Magelang, maka para kepala daerah diminta untuk berhenti dan menunggu arahan lebih lanjut dari Ketua Umum PDI-P.
Lantas, tepatkah reaksi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menginstruksikan semua Kepala Daerah kader asal PDI-P untuk tidak mengikuti retret setelah Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK? Bisakah kasus hukum dihadapi secara politik? Bukankah inilah contoh nyata “politisasi hukum?”
Lalu, mengingat Kepala Daerah adalah ‘kepanjangam tangan’ Pemerintah Pusat yang ada di daerah, maka bagaimana dampak boikot ini terhadap koordinasi pemerintahan ke depan? Apa konsekuensinya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Siti Zuhro (Peneliti Utama dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia) dan Prof Aan Eko Widiarto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang/ ahli Hukum Tata Negara). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: