
Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam beberapa hari belakangan, publik mengalami kelangkaan gas elpiji 3 kg, sebagai akibat dari munculnya aturan larangan pengecer menjual elpiji 3 kg per 1 Februari 2025. Kebijakan ini mengharuskan masyarakat membeli gas hanya di pangkalan.
Namun, baru tiga hari berjalan, kini kebijakan tersebut berubah. Pemerintah kembali mengizinkan warung kelontong atau pengecer untuk terus menjual elpiji 3 kg dengan syarat menjadi sub-pangkalan resmi PT Pertamina.
Hal itu seiring dengan sikap Presiden Prabowo Subianto yang telah menginstruksikan kepada Menteri ESDM untuk mengaktifkan kembali pengecer berjualan Gas LPG 3 Kg sambil menertibkan pengecer jadi agen sub pangkalan secara parsial. Kemudian memproses administrasi dan lain-lain, agar pengecer sebagai agen sub pangkalan harga LPG yang akan dijual ke masyarakat tidak terlalu mahal.
Lalu, terlepas dari langkah presiden yang akhirnya membatalkan aturan baru penjualan gas elpiji 3 kg: Kenapa Pejabat Negara kita sering ‘ingin’ memperbaiki masalah yang malah menciptakan masalah baru? Kenapa, sebelum mengeluarkan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak—mereka tidak terlebih dulu mempertimbangkan dengan cermat, menyiapkan mitigasi yang akurat, dan melalui sosialisasi yang tuntas…supaya bisa benar2 dipahami oleh masyarakat?
Meski sekarang sudah diambil langkah tegas oleh Presiden, tetapi timbul pertanyaan, apakah setiap keputusan menteri apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak—tidak dikonsultasikan terlebih dahulu di rapat kabinet dengan presiden?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Analis kebijakan publik Universitas Trisakti, Jakarta, Dr. Trubus Rahardiansyah. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: