Semarang, Idola 92.6 FM – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan menghapus presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20% kursi DPR. Ini berarti, semua parpol bisa mengusung capres-cawapresnya dalam Pilpres 2029. Putusan itu menimbulkan beragam tanggapan sebab setelah berkali-kali ditolak, kali ini gugatan ambang batas pencalonan presiden dikabulkan. Sebagian kalangan menyebut, ini merupakan putusan “langka.”
Gugatan atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum itu diajukan empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Keempat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka merupakan mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogja.
Dilansir detik.com (04/02/2024), menanggapi putusan MK tersebut, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyampaikan: pemerintah menghormati putusan MK. Yusril menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Yusril menuturkan, pemerintah menghormati putusan MK tanpa dapat melakukan upaya hukum apa pun. Apalagi, permohonan judicial review untuk menguji ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Pemilu itu telah dilakukan lebih dari 30 kali dan baru dikabulkan saat ini.
Lalu, dengan dihapusnya ambang batas presiden, akankah membuat jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden nantinya menjadi terlalu banyak? Ataukah parpol masih dihinggapi “inferiority complex” sehingga tidak pede bertarung melawan ‘rekan koalisinya’ selama ini? Apa saja konstelasi yang akan berubah? Dan apa manfaatnya bagi rakyat dan bagi kemajuan demokrasi kita?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Titi Anggraini (Anggota Dewan Pembina Perludem), Dr. Dhia Al Uyun (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang), dan Dr Wawan Mas’udi (Dosen Ilmu Politik/ Dekan Fisipol UGM Yogyakarta). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: