Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam beberapa waktu belakangan, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan beberapa kasus pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa. Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah Raffi Ahmad. Ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universal Institute of Professional Management (UIPM). Namun ternyata, UIPM disebut belum memiliki izin operasional di Indonesia.
Kasus lain yang tak kalah menjadi perhatian adalah soal ‘Gelar Doktor’ Bahlil Lahadalia dari Universitas Indonesia yang menuai polemik. Bahlil dinyatakan lulus dan resmi menyandang gelar doktor setelah menyelesaikan kuliahnya di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI. Pemberian gelar doktor dari UI kepada Bahlil menuai sorotan lantaran Bahlil dinilai menempuh pendidikan kurang dari 2 tahun untuk menjalani Sidang Promosi Doktor.
Menurut sejumlah pengamat, program doktor, sekali pun jalur riset tidak mungkin diselesaikan hanya dalam 2 tahun lantaran ada banyak tahap yang harus dilalui, mulai dari studi pustaka hingga penelitian lapangan.
Fenomena ini mengingatkan kita pada gejala “masyarakat kredensial.” Patologi sosial yang menjadikan legalitas dan formalitas sebagai sebuah supremasi tertinggi dalam kehidupan. Generasi kredensial ini lebih mementingkan apa yang dicapai, bukan proses dan apa yang harus dilakukan guna mencapai tujuan.
Lalu, bagaimana Perguruan Tinggi mestinya menyikapi gejala “masyarakat kredensial” ini? Bagaimana agar Perguruan Tinggi tidak terseret kepentingan pragmatis (dengan pemberian gelar) tapi di sisi lain, tetap menjaga muruah Perguruan Tinggi?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta/ Post-Doctoral Fellow di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Fariz Alnizar. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: