Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah mempertahan suku bunga acuannya pada level 6,25 persen selama empat bulan berturut-turut, Bank Indonesia akhirnya menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen, Rabu (18/09) lalu. Keputusan ini mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap terjaga rendah pada 2024 dan 2025 dalam sasaran 1,5 – 3,5 persen, penguatan dan stabilitas nilai tukar rupiah serta diperlukannya upaya untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan Ini merupakan penurunan bunga pertama sejak tahun 2021. Sebelumnya, dalam periode Agustus 2022-September 2024, BI konsisten menaikkan suku bunga hingga sebesar 275 bps. Kebijakan ini diikuti penurunan suku bunga deposit facility dan suku bunga lending facility dalam jumlah sama, yakni 25 basis poin menjadi masing-masing 5,25 persen dan 6,75 persen.
Meski memberikan sedikit kelegaan, pemangkasan bunga acuan oleh Bank Indonesia tidak serta-merta akan menggerakkan perekonomian domestik yang tengah dilanda pelemahan, terutama bagi kelas menengah. Belanja masyarakat, terutama kelas menengah, mestinya dapat didorong, melalui insentif fiskal.
Lalu, kalau penurunan suku bunga, dinilai hanya meredakan gejalanya, tanpa mengatasi sumber penyakitnya; lalu kebijakan fiskal apa yang mestinya kita tempuh? Bagaimana cara mendesak pemerintah untuk menjalaunkan kebijakan fiskal?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: