Kotak Kosong dan Ancaman terhadap Kualitas Demokrasi

ilustrasi

Semarang, Idola 92.6 FM – Sebanyak 41 daerah dipastikan hanya memiliki calon tunggal pada Pilkada Serentak 2024. Kondisi ini terjadi setelah KPU menutup perpanjangan masa pendaftaran pada 4 September 2024.

Dilansir dari CNN Indonesia (19/09), puluhan daerah dengan calon tunggal itu terdiri dari satu provinsi yakni Papua Barat dan 35 kabupaten dan lima kota. Alhasil, para paslon di daerah itu akan melawan kotak kosong saat hari pemungutan suara yang digelar pada 27 November 2024.

Angka calon tunggal di Pilkada 2024 ini melonjak dibandingkan pada Pilkada 2020 lalu, yaitu sebanyak 25 Kabupaten/kota. Sementara pada Pilkada 2018 lalu, hanya terdapat calon tunggal di 13 daerah dan sembilan calon tunggal di Pilkada 2017.

Undang-Undang Pilkada mengatur paslon tunggal harus mengumpulkan lebih dari 50 persen suara untuk menang dari kotak kosong. Hal itu diatur pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Jika paslon tunggal gagal meraih 50 persen suara sah, maka kotak kosong yang menang. Apabila kondisi itu terjadi, Undang-Undang Pilkada mengatur pilkada hanya bisa diulang di pilkada serentak berikutnya.

Untuk mengisi kekosongan jabatan, pemerintah akan menunjuk ASN sebagai penjabat (Pj.) Kepala Daerah sesuai peraturan perundang-undangan.

Masih banyaknya paslon tunggal, sesungguhnya di luar harapan. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya memutuskan partai yang tidak memperoleh kursi DPRD tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat persentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap. Aturan baru ini mengubah aturan sebelumnya yang mensyaratkan pasangan calon kepala daerah harus diusung partai politik atau gabungan partai dengan perolehan 25 persen suara atau 20 persen kursi DPRD.

Lalu, kenapa, setelah keputusan MK, masih banyak daerah yang hanya memiliki calon tunggal? Bagaimana cara menangkal skenario ini? Ke depan, apa yang mesti diperbaiki?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Titi Anggraini (Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia) dan Wijayanto, PhD (Pengamat politik/Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News