Mengurai Lesunya Industri Manufaktur Indonesia

Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Sektor industri manufaktur di Indonesia saat ini memasuki fase alarm ”peringatan.” Industri manufaktur Indonesia jeblok dari posisi ‘ekspansi’ menjadi posisi ‘kontraksi.’ Ini tecermin dari Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Managers Index/PMI) Indonesia pada Juli 2024 yang dirilis oleh S&P Global.

Dalam laporan itu, Indeks Pembelian manufaktur Indonesia anjlok, dari 50,7 per Juni 2024 ke 49,3, alias turun 1,4 poin per Juli 2024. Indeks di bawah 50 menunjukkan industri tengah terkontraksi. Sementara itu, indeks di atas 50 menunjukkan industri dalam posisi ekspansi.

PMI adalah indikator untuk melihat seberapa besar belanja kebutuhan bahan baku, komponen, dan barang pendukung untuk proses produksi manufaktur. Saat manajer pabrik belanja banyak bahan baku, artinya ada banyak permintaan. Ini mengindikasikan industri tengah ekspansi. Sebaliknya, pada saat belanja bahan baku merosot, artinya industri lesu alias terkontraksi.

Kontraksi ini merupakan yang pertama kali terjadi setelah 34 bulan berturut-turut PMI manufaktur Indonesia dalam posisi ekspansi. Terakhir, Indonesia dalam posisi kontraksi pada Agustus 2021, masih berada dalam situasi tekanan ekonomi akibat pandemi. Kini, Indonesia sudah lama melewati periode pandemi tetapi industri manufaktur kembali jeblok ke fase kontraksi.

Lalu, mengurai lesunya industri manufaktur Indonesia; mungkinkah pemerintah memberikan stimulus untuk menaikkan demand? Apa sesungguhnya pokok pangkal dari lesunya industri manufaktur kita?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Bhima Yudistira Adhinegara (Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS)) dan Danang Girindrawardana (Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News