Semarang, Idola 92.6 FM – Pada tanggal 10 Dzulhijjah, umat islam di seluruh penjuru dunia memperingati Hari Raya Idul Adha atau yang biasa disebut juga sebagai Hari Raya Qurban. Diceritakan di dalam Al-Qur’an, bahwa praktek kurban pertama kali dilakukan oleh kedua anak nabi Adam, Habil dan Qabil. Ibadah qurban pada waktu itu diperintahkan sebagai solusi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka berdua.
Kisah kedua yang paling populer adalah kisah nabi Ibrahim yang mendapat mimpi untuk mengorbankan anaknya, nabi Ismail// Kisah kedua nabi ini tercatat dalam kitab suci tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam).
Dalam kisah qurban yang dilakukan oleh nabi Ibrahim, sosiolog Iran Ali Syariati memiliki perspektif menarik dalam menggali makna dari peristiwa tersebut. Menurutnya, “Ismail” dalam kisah tersebut tidak hanya dapat dimaknai sebagai sosok anak dari nabi Ibrahim tetapi ia merupakan simbol dari dorongan nafsu dan ego yang menghalangi manusia untuk mendekat kepada tuhan-Nya.
Lalu, memaknai Idul Adha dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagaimana meneladani apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim? Kalau Idul Adha merefleksikan kekuatan iman, wujud cinta, dan jiwa hamba yang ikhlas atau mukhlas/ lalu, bagaimana mengejawantahkan spirit Idul Adha dalam kehidupan sehari-hari? Sudahkah, kita benar-benar memahami makna berkurban sesungguhnya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Rakhmat Hidayat, PhD (Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ)), Prof. Dr. H. M. Mukhsin Jamil (Guru Besar UIN Walisongo Semarang), dan Muhamad Arya Kurniawan (Wakil Ketua THK 1445 H Dompet Dhuafa). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: