Semarang, Idola 92.6 FM – Penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru tahun ini menjadi sorotan public. Sejumlah mahasiswa baru mengeluhkan tingginya biaya UKT yang ditetapkan.
Dengan biaya UKT yang kian mahal, maka hanya orang-orang yang kaya dan mampu yang bisa kuliah. Artinya, kesenjangan sosial akan makin buruk. Yang kaya dan bisa kuliah akan lebih sukses. Yang miskin dan tak bisa kuliah akan makin tertinggal. Kampus malah akan menjadi tool yang efektif buat melebarkan gap antara yang kaya dan yang miskin.
Lalu, kenapa UKT makin mahal?
Karena pemerintah hanya memberi bantuan maksimal 25% dari total biaya kampus negeri. Sisanya, pihak kampus diminta mencari sendiri. Pemerintah memberi bantuan ke kampus sangat kecil, padahal anggaran pendidikan sebesar Rp 665 triliun. Tetapi prioritas anggaran lebih difokuskan buat anak SD-SMP dan SMA/SMK.
Contohnya, anggaran UI tahun lalu sebesar Rp 3,2 triliun sementara UGM Rp 3 triliun. Dari jumlah biaya itu, UI mendapat bantuan dana dari pemerintah sebesar 15% saja atau Rp 500 miliar. Rp 2,7 triliun sisanya UI harus ‘akrobat’ mencari sendiri via UKT, aneka usaha, dan hibah.
Melihat kondisi tersebut, idealnya pemerintah memberi bantuan 50%/ tidak hanya 15%. Apalagi, saat ini warga Indonesia yang lulus S1 hanya 4,3%. Jumlah yang sangat sedikit. Angka ini bisa stagnan jika UKT makin mahal.
Lalu, akankah persoalan ini kita biarkan memicu brain drain?
Di Malaysia dan Thailand: biaya kuliah sekitar 20-35 jutaan rupiah, padahal rankingnya lebih bagus dari universitas di Indonesia. Seperti Universiti Malaya ranking#67, Universiti Sains Malaysia ranking#137, Chulalongkorn University ranking#211) Dunia.
Kalau Perguruan Tinggi harus menambal kurangnya biaya dengan menetapkan UKT yang tinggi sehingga membuat mahasiswa tidak sanggup bayar; Lalu bagaimana Pemerintah menangani masalah ini? Bukankah persoalan UKT yang tinggi ini mengancam pemanfaatan Bonus Demografi bahkan lebih jauh lagi, memperlemah masa depan daya saing bangsa?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Prof Cecep Darmawan (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung/pengamat kebijakan pendidikan), Dr Noor Farid (Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto), dan Fahmy Alaydroes (Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: