Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam agenda sidang putusan sengketa Pilpres 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta capres-cawapres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, dalam sidang putusan sengketa hasil Pemilihan Presiden 2024, pada Senin kemarin. MK menyatakan permohonan pemohon “tidak beralasan menurut hukum seluruhnya.”
Dalil-dalil permohonan yang diajukan itu antara lain soal ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan DKPP. Kemudian, dalil lainnya terkait tuduhan adanya abuse of power yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam bentuk penyaluran dana bantuan sosial (bansos) yang dianggap untuk memengaruhi pemilu. Termasuk dalil soal penyalahgunanan kekuasaan yang dilakukan pemerintah pusat, pemda, dan pemerintahan desa yang bertujuan memenangkan pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Juga, dalil soal nepotisme yang dilakukan Presiden untuk memenangkan paslon nomor urut 02 dalam satu putaran, tidak beralasan menurut hukum.”
Kendati demikian, tiga hakim konstitusi, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat, memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Saldi Isra mengatakan/ pemilu yang jujur dan adil sebagai bagian asas atau prinsip fundamental pemilu diatur dalam UUD 1945. Dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945, mengatur asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan berkala setiap lima tahun sekali.
Namun, yang juga penting, menurut Saldi, pemilu perlu mencakup aspek kesetaraan hak antarwaga negara dan kontestasi yang bebas serta harus berada dalam level yang sama (same level of playing field). Dengan demikian, persaingan yang bebas dan adil antarpeserta dimaknai sebagai suatu kontestasi yang harus dimulai dan berada pada titik awal dengan level yang sama.
Lalu, mencermati putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilpres 2024 yang menolak semua seluruh permohonan yang diajukan paslon 01 dan 03, akankah ini menjadi awal rekonsiliasi dan menciptakan kerukunan antar anak bangsa?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, Charles Simabura (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas), Aditya Perdana, Ph.D (Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Indonesia), dan Margarito Kamis (Pakar Hukum Tata Negara). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: