Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah melalui Kementerian Agama berencana menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tempat pernikahan semua agama tidak hanya Islam. Hal itu bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat non-Islam. Sebab, selama ini pemeluk agama non-Islam mencatatkan pernikahan di catatan sipil. Kemenag ingin KUA dapat mencatatkan pernikahan untuk semua agama. Sebagai wajah Kemenag, KUA ingin agar bisa melayani semua agama di Indonesia.
Meski begitu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menuturkan, pihaknya masih membahas prosedur dan regulasi untuk menjalankan program tersebut. Dia menyampaikan para Dirjen di Kemenag sudah bertemu dan membahas regulasi serta mekanisme transformasi KUA.
Rencana Kemenag tersebut menuai polemik. Mereka yang setuju menilai, rencana tersebut dapat mewujudkan esensi Kemenag sebagai organisasi negara yang melayani seluruh umat beragama. Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Misalnya, mengenai regulasi, organisasi, dan kemampuan sumber daya manusia. Hal itu penting untuk mengkonsolidasikan berbagai aspek guna memastikan kelancaran jalannya rencana.
Sementara itu, mereka yang kontra menilai, rencana Menteri Agama yang ingin menjadikan pencatatan nikah seluruh agama terpusat di KUA tidak sesuai dengan filosofi sejarah KUA di Indonesia serta aturan yang berlaku termasuk amanat UUD NRI 1945, dan justru malah bisa menimbulkan masalah sosial dan psikologis di kalangan non Muslim, dan bisa menimbulkan inefisiensi prosedural.
Lalu, menyoroti polemik wacana KUA bakal melayani semua agama: seberapa besar kebijakan ini membuat perbedaan? Sudah adakah riset untuk mengukur demand-nya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH, MH (Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Iskan Qolba Lubis (Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: