Semarang, Idola 92.6 FM – Masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sudah berlangsung sejak 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Berbagai cara dan upaya dilakukan para capres-cawapres untuk mencari simpati calon konstituen mereka. Mulai dari kampanye melalui media sosial, baliho, hingga safari politik ke daerah-daerah terus gencar dilakukan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Kita memahami, meminjam Asrinaldi A, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas dalam opininya di Kompas.id (14/12/2023), demokrasi yang berkualitas membutuhkan kampanye capres dengan ide dan pemikiran untuk menyelesaikan masalah berbangsa.
Sehingga, menurut Asrinaldi, ide dan pemikiran capres tentang Indonesia ke depan adalah cerminan kepemimpinan seperti apa yang akan mereka jalankan. Apalagi, setiap capres memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, kampanye yang mereka lakukan menjadi pedoman bagi pemilih untuk menentukan pasangan mana yang layak mereka pilih sebagai presiden mendatang.
Namun sayangnya, tidak semua capres tertarik dengan kampanye ini. Selain ketidaksiapan mereka dengan materi kampanye yang terkait dengan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat juga ketidakmampuan mereka beretorika sebagai cara mereka berkomunikasi dengan publik.
Di sisi lain, juga masih banyak pemilih yang tidak tertarik dengan kampanye ini karena rendahnya pendidikan politik yang mereka miliki. Walaupun begitu, tentu capres yang berkualitas akan selalu meningkatkan pendidikan politik kepada pemilihnya melalui kampanye yang dilakukan. Ide dan pemikiran yang disampaikan capres dalam kampanye inilah yang dapat menstimulasi pemahaman pemilihnya.
Lalu, di masa kampanye Pilpres 2024: antara kurangnya gagasan dan kekurangtertarikan masyarakat– mana yang lebih membuat kampanye politik jadi kurang gagasan? Kalau mayoritas masyarakat memang kurang literasi sehingga kurang menyukai gagasan; lalu, apakah dengan menerima kondisi sebagai status quo—apakah tidak semakin membuat lingkaran setan yang bermuara mandegnya konsolidasi demokrasi di Indonesia? Bagaimana cara merekonsiliasi ‘gap’ ini?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Dr Suko Widodo (Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya) dan Rakhmat Hidayat (Sosiolog Universitas Negeri Jakarta). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: