Semarang, Idola 92,6 FM-Satu lagi tersangka pengemplang pajak diserahkan tim penyidik Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Tengah I didampingi anggota Ditreskrimsus Polda Jateng ke penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Semarang pada Selasa (13/12).
Selain menyerahkan tersangka berinisial KET itu, tim penyidik juga menyerahkan barang bukti tindak pidana perpajakan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Semarang (Selasa, 12/12).
Kabid Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen dan Penyidikan Kanwil DJP Jateng I Santoso Dwi Prasetyo mengatakan tersangka pengemplang pajak berinisial KET itu merupakan direktur PT MSM di Kota Semarang yang bergerak di bidang usaha perdagangan besar bahan bakar padat, cair dan gas serta produk yang berhubungan dengan itu.
Menurut Santoso, modus yang dilakukan tersangka KET menggunakan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (TBTS) sebagai pajak masukan (kredit pajak) dalam penyampaian SPT Masa PPN pada kurun waktu masa pajak Januari 2018 sampai dengan Desember 2018.
Perbuatan KET diduga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp 2.264.536.560.
Santoso menjelaskan, tersangka KET melanggar Pasal 39A huruf a atau Pasal 39 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yaitu menggunakan Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
Atas tindak pidana tersebut, tersangka KET terancam pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun serta denda paling sedikit dua kali jumlah pajak dalam faktur pajak dan paling banyak enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak.
“Bahwa tersangka tersebut telah dilakukan serangkaian upaya pembinaan seperti surat imbauan dari Kantor Pelayanan Pajak sebelum pemeriksaan bukti permulaan terhadap Wajib Pajak. Pada tahap pemeriksaan bukti permulaan, tersangka telah diberi kesempatan untuk melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sesuai pasal 8 ayat (3) UU KUP. Namun kesempatan tersebut tidak digunakan oleh tersangka, sehingga penyidik melanjutkan kasusnya ke proses penyidikan,” kata Santoso.
Lebih lanjut Santoso menjelaskan, saat dilakukan penyidikan pun sebenarnya tersangka masih bisa mengajukan permohonan penghentian penyidikan sesuai Pasal 44B UU KUP.
Namun, yang bersangkutan tetap tidak menggunakan kesempatan tersebut.
“Proses penegakan hukum pajak sebenarnya lebih mengutamakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dibandingkan dengan pemidanaan seseorang sesuai asas ultimum remedium,” pungkasnya. (Bud)