Semarang, Idola 92.6 FM – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Selasa (07/11) lalu, dalam amar putusannya memutuskan bahwa hakim konstitusi Anwar Usman terbukti melanggar etik berat terkait konflik kepentingan dalam putusan MK soal syarat minimal usia capres-cawapres.
Ketua MKMK, Jimly Ashhiddiqie, dalam amar putusan menjatuhkan sanksi pemberhentian Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. Selain itu, Anwar Usman juga tak bisa ikut memeriksa perkara terkait gugatan batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA).
MKMK juga menjatuhkan sanksi teguran secara kolektif kepada 9 hakim karena dinilai tak dapat menjaga informasi dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang seharusnya menjadi rahasia.
MKMK memandang, Anwar sebagai hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Jimly menyebut keputusan ini diambil setelah MKMK melakukan pemeriksaan terhadap Anwar dan mengumpulkan fakta serta pembelaan dari Anwar. Di antara sembilan hakim MK, Anwar diperiksa MKMK dua kali dalam dugaan pelanggaran etik ini.
Sebelumnya, Jimly menyatakan MKMK menerima 21 laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik sembilan hakim MK terkait putusan syarat batas usia capres-cawapres. Dari 21 laporan itu, Anwar Usman menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan, yaitu 15 laporan.
Atas putusan MKMK tersebut, Anwar Usman juga buka suara. Rabu (08/11) lalu menyampaikan 17 Poin Pembelaan usai dicopot dari Ketua MK. Dalam kesempatan itu, ia menyatakan, apa yang disangkakan kepadanya adalah “Fitnah yang Sangat Keji”. Ia menilai, ada upaya politisasi dan pembunuhan karakter terhadapnya terkait putusan MKMK. Ia juga menyayangkan sidang kode etik MKMK digelar secara terbuka.
Lantas, membaca putusan Majelis Kehormatan MK terkait dugaan pelanggaran etik, apakah putusan tersebut bisa meredam pro kontra soal batas usia? Apakah mampu memulihkan marwah MK–khususnya menghadapi gugatan pasca pemilu yang akan ramai dengan sengketa hasil Pemilu 2024?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni Yance Arizona, Ph.D (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dan Titi Anggraini (Anggota Dewan Pembina Perludem). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: