Semarang, Idola 92.6 FM – Di dalam sistem kepemiluan kita, khususnya tata aturan pemilihan presiden terdapat ketentuan ambang batas presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ambang batas presiden itu mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres, sedikitnya harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional.
Dengan presidential threshold 20 persen itu, nyaris tidak ada satu pun partai yang bisa mengajukan capres selain PDI Perjuangan sehingg tak ada parpol lain yang bisa mengusung capres tanpa harus menggandeng parpol lain.
Atas kondisi ini, Peneliti utama politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Siti Zuhro menilai bahwa 8 partai politik yang duduk di DPR RI perlu segera merevisi ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang termuat di dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dengan aturan yang kerap disalahartikan sebagai “presidential threshold” ini, maka calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diusung oleh parpol/gabungan parpol dengan raihan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Di Senayan, menurut Siti Zuhro, hanya PDI Perjuangan satu-satunya parpol yang telah memenuhi ambang batas itu. Ia menyinggung bahwa 8 parpol selain PDI-P sudah merasakan dampak buruk kebijakan yang memang tidak diperlukan ini.
Lalu, ketika presidential threshold membuat parpol menjadi tak percaya diri untuk mengusung kadernya, mungkinkah mendorong pihak yang punya “vested” untuk mengubah sesuatu yang justru dikehendakinya? Tapi, apa sesungguhnya manfaat presidential threshold bagi parpol, selain PDIP?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed) Purwokerto, Manunggal K Wardaya, PhD. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: