Semarang, Idola 92.6 FM – Penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi beserta anak buah Letkol Afri Budi Cahyanto oleh KPK memicu polemik. Sebagian kalangan pegiat antikorupsi menilai, ini berdampak pada profesionalisme lembaga antirasuah KPK.
Sebelumnya, KPK ‘mengakui khilaf’ dan ‘meminta maaf’ atas penetapan tersangka terhadap dua personel aktif dalam kasus dugaan suap di lingkungan Basarnas. Permintaan maaf dilayangkan KPK setelah menggelar audiensi dengan sejumlah perwira tinggi TNI yang sebelumnya keberatan.
Pihak TNI keberatan karena yang berhak menetapkan anggota TNI aktif menjadi “tersangka” hanya Puspom TNI. Dalam kasus ini, Henri diduga menerima suap terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas periode 2021-2023 senilai Rp88,3 miliar.
Selain Henri dan Afri, KPK juga menetapkan tiga warga sipil sebagai tersangka, yakni yakni MG selaku Komisaris Utama PT MGCS, MR selaku Direktur Utama PT IGK, dan RA selaku Direktur Utama PT KAU.
Lalu, menyoroti kasus penetapan tersangka Kabasarnas oleh KPK yang memicu polemik: Apa yang salah? Apakah kewenangan KPK memang tidak menjangkau kasus korupsi di tubuh TNI sehingga, sampai harus mengaku khilaf? Prosedur apa yang telah dilanggar KPK? Maka, apa yang mesti diperbaiki agar tidak terjadi lagi kasus serupa?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)), dan Dr Mochamad Isnaeni Ramdhan (Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Pancasila Jakarta). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: