Semarang, Idola 92.6 FM – Kasus perundungan atau bullying pada anak hingga kini masih saja terus terjadi walaupun berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah. Ia seperti menunggu giliran hingga kemudian menjadi viral dan sorotan publik. Terulang dan terulang.
Padahal, kita ketahui, di lingkungan Pendidikan juga sudah ada Permendikbud 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di satuan pendidikan. Namun, hal itu belum efektif. Apalagi, banyak sekolah yang belum memiliki sistem pengaduan dan pelaporan yang melindungi korban perundungan.
Kondisi ini membuat sejumlah pihak menilai, kasus bullying di Indonesia sudah masuk kategori mengkhawatirkan atau darurat. Pada tahun 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, sebanyak 119 kasus perundungan terhadap anak, terjadi. Jumlah ini melonjak dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar antara 30 hingga 60 kasus per tahun.
Dan terkini, salah satu kasus yang menyentak publik adalah perundungan terhadap seorang siswa di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Seorang siswa SMP di Temanggung, Jawa Tengah, nekat membakar sekolahnya sendiri karena sakit hati sering dirundung kawan-kawannya.
Kita ketahui, di negara maju (US) sudah sejak tahun 1990-an, bullying sudah dilarang dan berkonsekuensi hukum; bagaimana dengan kita? Belum mendesakkah melarang bullying? Lalu, bagaimana penegakan hukumnya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Konsultan Psikolog Dewi Minangsari dan Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: