Semarang, Idola 92.6 FM – Seorang advokat, Yasin Djamaludin beberapa waktu lalu melakukan uji materi UU Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia meminta agar “kewenangan” Kejaksaan untuk menyelidiki dan menyidik kasus korupsi dihapus.
Yasin beralasan, kewenangan jaksa yang bisa masuk ke ranah penyelidikan dan penyidikan melanggar KUHAP. Sebab, pengaturan pembagian tugas penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian maupun penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum sudah menciptakan kepastian hukum sehingga tercipta check and balances dalam proses penyidikan/Prapenuntutan.
Selain itu, dengan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi super power mengingat Kejaksaan memiliki kewenangan lebih; selain melakukan Penuntutan, jaksa juga bisa sekaligus melakukan Penyidikan.
Upaya uji materi itu pun menuai reaksi dari kalangan akademisi dan pegiat antikorupsi. Ahli Pidana Suparji Ahmad mengkritik gugatan yang diajukan terhadap kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan kasus korupsi. Guru Besar Universitas Al Azhar Jakarta ini menilai, gugatan tersebut merupakan bentuk perlawanan dari para koruptor.
Sementara itu, Transparency International Indonesia (TII) menegaskan, institusi kejaksaan masih diperlukan dalam membongkar kasus tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia. TII merasa upaya pemberantasan korupsi wajib melibatkan banyak pihak termasuk Kejaksaan.
Lantas, ketika advokat mengajukan uji materi ke MK soal kewenangan kejaksaan dalam menangani kasus korupsi; apakah ini bentuk serangan balik para koruptor?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni Peneliti & Project Officer Transparency International Indonesia (TII), Sahel Muzzammil. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: