Semarang, Idola 92.6 FM – Markas Besar TNI saat ini tengah membahas revisi UU Nomor 34 tahun 2004, tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Salah satu perubahan yang diusulkan lewat revisi UU tersebut yakni, prajurit aktif dapat lebih banyak menduduki jabatan di kementerian/lembaga.
Dalam Pasal 47 Ayat 2 UU TNI disebutkan bahwa prajurit aktif TNI bisa menduduki jabatan di sepuluh kementerian dan lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR), narkotika nasional, dan Mahkamah Agung.
Wacana itu pun menuai polemik. Pengamat militer dan pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, revisi pada Pasal 47 Ayat 2 UU TNI itu bertentangan dengan amanat reformasi. Menurutnya, klausul baru yang membolehkan prajurit TNI aktif di kementerian/lembaga yang membutuhkan merupakan aturan karet. Fahmi berpendapat klausul itu membuka peluang masuknya prajurit aktif ke kementerian/lembaga yang urusannya tidak berkaitan atau beririsan langsung dengan tugas dan fungsi TNI.
Lalu, apa kedaruratan yang mendesak sehingga prajurit bisa menduduki jabatan sipil? Selain bertentangan dengan amanat reformasi bukankah hal itu juga berpotensi membuat profesionalisme TNI jadi tergerus?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Selamat Ginting (Pengamat Militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta) dan Ray Rangkuti (Aktivis Reformasi). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: