Kendal, Idola 92.6 FM – Mentari pagi masih belum tinggi ketika beberapa bocah berseragam identitas sekolah menenteng kantung plastik memasuki pelataran gedung. Mereka bergegas menuju sebuah ruang. Sebagian lain, menenteng kardus bekas dengan diikat tali rafia.
Setelah tiba di depan ruangan, mereka berbaris menunggu giliran masuk. Saat masuk, satu per satu murid menyerahkan kantung yang mereka bawa ke petugas. Kemudian, petugas mengeluarkan barang yang ada di kantung. Petugas menyortir dan memilah sesuai jenisnya satu per satu. Ada kategori botol air mineral, gelas plastik, kertas, hingga kardus. Di sudut lain, tampak petugas sedang menakar berat setumpuk kardus dengan timbangan duduk.
Demikian aktivitas gerakan Sedekah Sampah yang diselenggarakan SD Muhammadiyah Sukorejo yang berlokasi di Jalan Sujono No 72 Sumber Kebumen Kecamatan Sukorejo Kabupaten Kendal Jawa Tengah, pada Jumat beberapa waktu lalu.
“Program ini bernama Sedekah Sampah. Harapannya para siswa bisa memanfaatkan sampah yang tidak seberapa menjadi amal jariyah. Selain itu, bermanfaat untuk pengembangan sekolah dan siswa,” kata Kepala SD Muhammadiyah Sukorejo, Butuk Kemisih, S.Pd., M.Psi, kepada radio Idola Semarang, di pertengahan November 2022.
Menurut Butuk Kemisih, gerakan Sedekah Sampah dimulai sejak Tahun Ajaran 2021/2022 di awal Semester II. Siswa dari kelas 1 hingga 6 diminta mengumpulkan sampah layak jual setiap Jumat. Sampah yang dibawa lalu dikumpulkan menjadi satu di sebuah ruangan khusus. Kemudian, bagian Sarpras bekerja sama dengan pengepul datang untuk menimbang dan membayar.
“Sesekali kami melibatkan anak dalam pencatatan dan penimbangan. Tujuannya, untuk mengedukasi anak-anak pada isu lingkungan dan memanfaatkan sampah menjadi sesuatu yang berguna,” tutur Butuk yang bersama bagian Kesiswaan menjadi penanggung jawab gerakan Sedekah Sampah.
Dari rentang waktu Januari sampai Oktober 2022 dari penjualan sampah tersebut tercatat, sudah terkumpul kurang lebih Rp8,5 juta. Dana yang terkumpul dimanfaatkan untuk pengembangan institusi serta pembangunan sarana prasarana sekolah.
“Ke depan dari hasil penjualan akan dialokasikan untuk beasiswa bagi siswa kurang mampu,” ujar Artini Estiningtiyas, guru kelas I SD Muhammadiyah Sukorejo yang juga pengelola Sedekah Sampah.
Kelola Sampah Raih Investasi Emas
Sementara di tempat lain, sebagai upaya mengatasi problem sampah sekaligus memberdayakan warga, Nunuk Sarah Zenubia, menginisiasi pendirian Bank Sampah Induk (BSI) di Kabupaten Kendal. Sebelum berubah nama menjadi BSI Kendal pada 2020, Nunuk menyematkan nama Bank Sampah Resik Becik sejak November tahun 2013 lalu.
“Awalnya kami studi banding ke Bantul, ke bank sampah yang konon, pertama kali berdiri di Indonesia tahun 2011. Akhirnya, kami mendirikan Bank Sampah di Kendal tahun 2013,” kata Nunuk, saat diwawancara radio Idola Semarang, 31 Mei 2022 lalu.
Di awal merintis, Nunuk berkeliling Kabupaten Kendal bersama anggota dan relawan untuk mengajak warga melek dengan krisis lingkungan. Mulai dari lingkungan SD, Puskesmas, hingga kantor kelurahan didatangi. Nunuk tak bosan mengajak warga untuk mengelola sampah hingga menghasilkan emas dan dinar.
Meski pernah jatuh bangun dalam mengembangkan BSI Kendal dan nyaris tutup karena belum memiliki kantor permanen, tak membuat Nunuk dan anggotannya berkecil hati. Hingga akhirnya BSI Kendal berhasil meraih juara III dalam Festival Lingkungan Astra Bank Sampah Competition 2020. Bertempat di sekretariat BSI Kendal Kelurahan Langenharjo, Nunuk dan tim terus mengedukasi warga.
Ia memulai gerakan peduli lingkungan dari akarnya. Yakni, dengan menjemput sampah. Setiap Jumat hingga Minggu, Nunuk bersama 14 anggotanya memberikan layanan jemput sampah dari lingkup perumahan, sekolah, kelurahan, pertokoan, hingga Puskesmas. Tak jarang, para nasabah juga mengantarkan sampahnya sendiri ke sekretariat BSI Kendal.
Jerih payah Nunuk dkk membuahkan hasil. Saat ini, ada sekira 500-an lebih nasabah BSI Kendal. Mitra nasabah mereka tersebar di sejumlah wilayah perumahan. Mulai dari Kota Kendal, Kaliwungu, Ngampel, Kaliwungu Selatan, Weleri, Pegandon, Ringinarum, dan Brangsong. Mitra lainnya yakni tujuh sekolah dan pondok pesantren, dua Puskesmas, empat lembaga OPD, dua toko, serta lima komunitas di Kendal. Dari sana, BSI Kendal bisa memperolah omzet hingga Rp 3 juta per bulan.
Dari sampah bisa menjadi investasi, hal itu dibuktikan BSI Kendal. Salah satu program yang dilakukannya adalah mendayagunakan tabungan nasabah dalam wujud emas. Saat ini terdapat belasan nasabah yang sudah investasi emas di BSI Kendal. Nasabah yang menukar sampah harga Rp 80 ribu mendapatkan MR Gold ukuran 0.05 gram.
“Di balik sampah, ada potensi yang sesungguhnya sumber daya. Di balik sampah, ada emas, tapi harus “digosok-gosok” dulu,” pesan Nunuk mengilustrasikan betapa besar potensi sampah jika dikelola dengan baik.
Di tempat lain, di Kota Semarang, geliat mengelola sampah di tingkat warga pun dilakukan warga Kelurahan Polaman Mijen Kota Semarang. Sejak tahun 2019, mereka merintis Bank Sampah. Ketua Bank Sampah Polaman Resik Sejahtera Haryono mengungkapkan, sampah jika dikelola dengan baik memiliki nilai ekonomis tinggi. Ini menjadi bagian dari ekonomi sirkular. Setelah dua tahun berjalan, pendapatan dari bank sampah yang dikelola 9 orang pengurus ini bisa mencapai Rp800 ribu hingga Rp1 juta per bulannya.
Pendapatan itu didapat dari pengolahan sampak organik hingga anorganik. Jenis-jenis sampah organik dikelola untuk membuat pupuk serta budidaya magot buat pakan lele. Kemudian, sampah anorganik meliputi: plastik, kardus, hingga kertas.
Hingga saat ini, sudah ada 140 warga yang menjadi nasabah dari total 723 KK di Kelurahan Polaman Mijen. “Pada awalnya perjuangan merintis bank sampah ini tak mudah. Namun, kini warga sudah mulai merasakan dampaknya,” tutur Haryono, di lokasi Kantor Bank Sampah Polaman Resik Sejahtera, Kamis (10/11) lalu.
Akademisi Ungkap Besarnya Potensi Sampah
Sementara itu, mengenai besarya potensi ekonomis sampah, Guru Besar Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang Prof Syafrudin, menyampaikan, potensi sampah plastik di Kota Semarang sangat besar sekali.
Dampak ekonomis dari pengolahan sampah plastik di Kota Semarang bisa mencapai Rp800 juta per hari. Hasil tersebut didapatkan dari penelitiannya pada tahun 2018. “Yang dapat potensi ini kebanyakan pemulung,” ujar Prof Syafrudin dalam diskusi media bertema “Manusia Berdaya, Berdayakan Sampah” yang digelar serat.id, Kamis (10/11) di Kantor Kelurahan Polaman Mijen Kota Semarang.
Prof Syafrudin merinci, total nilai ekonomis sampah pada lapak kecil bisa mencapai Rp146 juta per hari, sementara pada pemulung mencapai Rp80 juta per hari. Hal itu berdasarkan dari penelitian yang dilakukannya serta melakukan wawancara kepada para pemulung. “Sehari mereka (pemulung-Red) bisa meraih sekira Rp150 ribu hingga Rp300 ribu,” ujarnya.
Bank Sampah Menjadi Salah Satu Solusi
Menurut Prof Syafrudin, tanggung jawab mengatasi problem sampah tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun juga masyarakat. “Sampah ini tanggung jawab pengelolaannya bukan hanya pada Pemerintah tapi tanggung jawab kita karena antropogenik. Tanggung jawab kita semua karena manusia yang menyebabkan sampah,” ujarnya. Istilah antropogenik secara sederhana bisa dimaknai sebagai aktivitas manusia baik sengaja maupun tidak sengaja dan dilakukan secara terus-menerus yang memberikan dampak buruk bagi masyarakat karena memicu atau mempercepat terjadinya bencana.
Menurut Prof Syafrudin, sekurangnya ada 5 sumber permasalahan sampah. Yakni, pertambahan penduduk (menambah volume, jenis, karakteristik sampah), perubahan pola konsumsi (kemasan plastik, stryfoam, tas belanja, nasi kotak, dsb), paradigma dan perilaku masyarakat (kumpul-angkut-buang), tingkat pelayanan sampah terbatas, dan kebiasaan buang sampah di sembarang tempat.
Menurut Prof Syafrudin, minimnya kesadaran masyarakat dan terbatasnya layanan pengelolaan sampah mengakibatkan pengelolaan sampah menjadi tidak optimal. Di sisi lain, infrastruktur dan pelayanan dalam pengelolaan sampah juga tidak terkelola dengan baik.
“Paradigma dan perilaku masyarakat harus berubah. Sumber sampah berasal dari pola pemilahan di tingkat rumah tangga yang tidak baik,” tuturnya.
Menurut Prof Syafrudin, keberadaan bank sampah menjadi salah satu solusi persoalan sampah. Namun, harus dikelola dengan benar dan akuntabilitas. Ia mencontohkan, apabila bank sampah di desa setempat belum dapat mengelola dengan baik, maka sebaiknya bekerjasama dengan bank sampah lain.
Dalam kesempatan yang sama, di hadapan puluhan peserta, Syafrudin menyinggung, pada tahun 2019 lalu, ia pernah menyebut bahwa Provinsi Jawa Tengah sudah masuk kategori darurat sampah. Tak hanya jumlahnya yang semakin banyak, komposisi sampah organik yang semula mendominasi kini tergeser dengan banyaknya sampah anorganik yang susah terurai. Di sisi lain, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sudah tidak mampu lagi menampung.
Ia menguraikan, pada tahun 2016 produksi sampah mencapai 5,7 juta ton. Jumlah tersebut naik 335.070 ton dibanding 2015 yang sebesar 5,3 juta ton. Rata-rata tiap hari sampah di seluruh Jateng mencapai 15.671 ton. Meski demikian, jumlah sampah di Jawa Tengah masih tidak terlalu besar jika dibanding dengan dua provinsi lain yakni Jawa Timur dan Jawa Barat. Jika di Jawa Tengah perhari sampahnya 15 ribu, di Jatim total sampahnya mencapai 19 ribu ton per hari dan Jawa Barat sebanyak 27 ton per hari.
Dalam mengatasi persoalan sampah, tak hanya partisipasi aktif dari masyarakat, Prof Syafrudin menekankan keberanian pemerintah dalam menegakkan peraturan soal sampah.
Pentingnya Kemitraan dalam Pengelolaan Sampah
Sementara itu, Amalia Wulansari Direktur Pelaksana Yayasan Bina Karya Lestari (Bintari) menyampaikan, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat penting. Salah satu upaya dengan partisipasi pengelolaan sampah melalui bank sampah atau TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang diinisiasi warga di tingkat desa.
Sebagai yayasan yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan dan pembangunan, Yayasan Bintari telah bekerjasama dengan Pemkot Semarang dalam hal pendamping bank sampah sejak 2018 silam. Hingga kini 65 bank sampah di Kota Semarang yang sudah didampingi dalam hal pengelolaan sampah secara keberlanjutan.
“Dalam hal Pengelola sampah kami ajak masyarakat untuk membentuk unit bisnis, jadi tidak hanya sekedar menyetorkan sampah saya ke bank sampah,” kata Amalia kepada jurnalis peserta diskusi media di kantor Bank Sampah Polaman Resik Sejahtera Kota Semarang.
Amalia menambahkan, beberapa contoh unit bisnis yang telah diinisiasi oleh Yayasan Bintari di beberapa bank sampah yang ada di Kota Semarang. Mulai dari agen pembayaran pajak dan listrik, kerjasama dengan Pegadaian melalui program dari sampah jadi emas, serta koperasi yang bisa menukarkan sampah untuk mendapatkan bahan pokok.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Semarang, Heru Purwantoro menyampaikan, bank sampah sebagai solusi alternatif pengelolaan sampah sehingga pihaknya mentargetkan peningkatan jumlah bank sampah di tingkat desa. Saat ini kami mempunyai 167 bank sampah di 208 desa di Kabupaten Semarang.
“Bank sampah tersebut juga terintergrasi melalui aplikasi Silopah (Sistem informasi untuk pengolahan sampah dengan bank sampah) untuk memudahkan pemantauan sampah di tiap desa,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ada 59 bank sampah yang rutin laporan lewat Sipolah sehingga pihaknya bisa mengetahu jumlah pelanggannya, penabungnya, dan kondisi keuangannya.
“Kami berharap, upaya ini tidak hanya dapat menekan beban penumpukan sampah di 163 TPS dan TPA Blondo. Selain itu, melalui bank sampah ini juga memberi nilai ekonomis bagi warga dan perbaikan lingkungan,” ujarnya. (her/tim)