Semarang, Idola 92.6 FM – Narasi dalam politik identitas yang muncul sebelum dan setelah pemilihan presiden 2019 menguak potensi keretakan sosial di masyarakat yang berbahaya jika disuburkan. Namun, kita seolah masih begitu mudah melupakan hingga kemudian sebagian dari kita justru seolah menyalakan kembali api politik identitas yang sebenarnya berangsur-angsur mulai padam.
Kekhawatiran akan kembali munculnya penggunaan politik identitas dalam Pemilu, dipicu pernyataan Pegiat Sosial Media Ade Armando dalam kanal YouTube Cokro TV. Ade menyebut bahwa Anies Baswedan bisa memenangkan kontestasi politik jika berhasil merebut suara dari salah satu golongan agama.
Sontak, pernyataan Ade pun menuai reaksi publik. Mereka menyayangkan pernyataan Ade Armando karena tak berharap luka lama, berupa keterbelahan sosial akibat politik identitas terjadi kembali. Salah satu pihak yang bereaksi adalah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Menurut mereka, pernyataan pegiat media sosial Ade Armando berbahaya bagi keutuhan NKRI.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Sulaeman Tanjung, Ade Armando tak seharusnya mengangkat isu identitas kristen dalam politik. Sebab, memperalat identitas agama dalam politik sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa. PBNU menolak keras terkait penggunaan politik identitas dalam kontestasi politik. Sebab, hal itu justru akan memecah belah bangsa.
Lalu, ketika politik identitas memfragmentasi persatuan yang berpotensi memecah belah kerukunan, maka, upaya apa yang mesti dilakukan untuk mencegahnya? Kenapa demi kontestasi politik, kerukunan dan persatuan mesti dikorbankan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Prof Firman Noor (Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)), Gun Gun Heryanto (Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Anwar Hafid (Politisi Partai Demokrat/ Anggota DPR RI). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: