Semarang, Idola 92.6 FM – Satu persatu, partai politik mengalami dualisme atau perpecahan. Yang anehnya, selalu terjadi menjelang pelaksanaan Pemilu.
Terkini, dualisme kepengurusan partai politik terjadi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal itu, bermula dari diberhentikannya Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Muhammad Mardiono didapuk sebagai Plt Ketua Umum PPP, menggantikan posisi Suharso Monoarfa. Suharso diberhentikan lewat forum rapat Mahkamah Partai yang digelar pada 2-3 September lalu. Keputusan pemberhentian itu merupakan usul dari tiga majelis PPP; yakni Majelis Syariah, Majelis Kehormatan dan Majelis Pertimbangan. Setelah itu, mereka menggelar Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) 4-5 September. Dalam Mukernas ini, Mardiono ditunjuk sebagai Plt Ketua Umum PPP.
PPP kubu Suharso melalui Ketua DPP PPP Saifullah Tamliha menilai, Mukernas yang memberhentikan Suharso tak sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Suharso hingga hari ini belum bersuara terkait tindakan para kader PPP yang memberhentikannya dari pucuk pimpinan dan menunjuk Mardiono sebagai Plt Ketum PPP.
Lalu, kenapa “perpecahan” atau pertikaian di internal partai politik, selalu terjadi menjelang pemilu? Apakah karena masih lemahnya mekanisme di AD/ART Partai politik, atau karena tingginya “demand” dari eksternal parpol? Lalu, bagaimana mungkin parpol bisa menjadi saluran yang memperjuangkan aspirasi masyarakat kalau rentan terhadap perpecahan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Charles Simabura, M.H. (Peneliti Pada Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)/ Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang), Titi Anggraini (Anggota Dewan Pembina Perludem), dan Anwar Hafid l (Politisi Partai Demokrat/ Anggota DPR RI). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: