Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah menggagas “rompi biru” sebagai penangkal korupsi, kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mencanangkan desa antikorupsi. Kemarin (06/06), Ketua KPK Firli Bahuri membentuk desa antikorupsi di Desa Pakkato, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Hal itu dilakukan KPK sebagai salah satu upaya pencegahan korupsi di tingkat pedesaan. Berdasarkan catatan KPK, ada 601 perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan kepala dan perangkat desa. Sehingga, KPK menilai, hal itu harus dihentikan.
Menurut KPK, tindak pidana korupsi bisa terjadi sejak tahapan perencanaan, penyusunan, implementasi, pelaksanaan, hingga pengawasan penggunaan anggaran. Karena itu, KPK berupaya melaksanakan pendidikan dan pencegahan korupsi kepada masyarakat.
Sebelumnya, gagasan rompi biru yang dijadikan simbol kolaborasi antara KPK dengan beberapa pihak demi mewujudkan instansi bebas korupsi menuai reaksi kalangan pegiat antikorupsi. Salah satu pihak yang mengkritik itu adalah Abdillah Thoha. Mantan Penasehat Wakil Presiden periode 2014-2019 ini bahkan menuliskan tanggapan satire dalam cuitannya.
Ia menulis, “Kagum terhadap kreativitas KPK. Negeri lain tidak mampu berpikir sejauh itu. Mereka mencegah korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan dan menghukum berat koruptor. Kita (cukup) dengan membuat rompi baru. Jenius.”
Singkatnya, alih-alih memperkuat sistem pengawasan dan edukasi anti korupsi, KPK malah memasyarakatkan program rompi biru dan desa antikorupsi. Seberapa efektif simbol-simbol itu dalam mencegah korupsi? Apakah korupsi bisa diatasi dengan gimmic-gimmick?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) dan Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: