Semarang, Idola 92.6 FM – Kebebasan berpendapat termasuk kritik merupakan salah satu bahan bakar demokrasi. Tanpa partisipasi dan kritik publik, maka demokrasi secara perlahan akan redup bahkan mati.
Maka, sejumlah kalangan bereaksi ketika polisi menetapkan tersangka pada aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas kasus pencemaran nama baik Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Mereka menilai, kasus itu menjadi salah satu bukti pejabat publik di Indonesia tidak bisa menerima kritik dari masyarakat. Padahal, kritik menjadi konsekuensi dan inheren bagi pejabat publik. Menjadi pejabat publik artinya, harus siap menerima sorotan dan kritik publik.
Sebelumnya, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut B Pandjaitan. Luhut dan tim pengacara melaporkan Haris dan Fatia ke Polda Metro Jaya karena percakapan keduanya di kanal YouTube. Dalam kanal YouTube milik Haris, keduanya menyebutkan Luhut “bermain” dalam bisnis tambang di Intan Jaya, Papua.
Lantas, apakah mempolisikan ‘percakapan’ para aktivis, hanya satu-satunya jalan untuk menegakkan kebenaran? Tak cukupkah dengan mengkonfirmasi di era demokrasi dan keterbukaan seperti sekarang ini? Kemudian, ketika suara kritis berbuah kriminalisasi, apakah tidak mematikan partisipasi sebagai spirit demokrasi? Bagaimana mestinya kita menyikapi situasi ini?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Bivitri Susanti (Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum/STIH Jentera) dan Afif Abdul Qoyim (Juru Bicara Tim Advokasi untuk Demokrasi/ Direktur LBH Masyarakat). (her/yes/ao)
Dengarkan podcast diskusinya: