Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam sambutannya di acara Rapat Pimpinan TNI-Polri beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo berpesan agar istri-istri TNI tidak sembarangan mengundang ustad-ustad radikal untuk berceramah. Hal itu sebagai salah satu bentuk kedisiplinan keluarga anggota TNI-Polri, begitu pesan presiden.
Jokowi meminta, agar TNI-Polri bisa mengkoordinir pemanggilan para penceramah atau pemuka agama untuk istri maupun keluarga mereka. Hal ini untuk meminimalkan penyebaran paham-paham radikal yang menurut Istana, sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, penyebaran itu diyakini sudah mencapai stadium empat.
Merespons pernyataan Presiden Jokowi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menerbitkan sejumlah ciri penceramah radikal. Direktur Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid menyampaikan, salah satu ciri penceramah radikal adalah antipemerintah. Ia menyebut para penceramah itu selalu menyebarkan kebencian terhadap pemerintahan yang sah.
Nah, agar masyarakat juga bisa mengikuti anjuran Presiden Jokowi itu, maka, kita perlu memahami, apa sih definisi radikal? Apa saja rinciannya? Apakah mereka yang selalu mendorong perubahan dasar dan bentuk negara? Atau, hanya mereka yang berseberangan dengan pemerintah?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber Guru Besar Ilmu Pemikiran Islam UIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. H. M. Mukhsin Jamil, M.Ag. (her/yes/ao)
Dengarkan podcast diskusinya: