Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintah baru-baru ini meneken perjanjian pembelian 42 pesawat jet tempur Rafale dari Prancis. Pembelian pertama jet tempur dari Prancis ini dilakukan Indonesia di tengah upaya merombak kekuatan alutsista udara yang menua – mencakup jet tempur F-16 buatan Amerika Serikat dan Su-27, Su-30 Sukhoi buatan Rusia.
Pembelian itu diumumkan di tengah pengumuman Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang menyepakati kemungkinan penjualan pesawat F-15ID dan perlengkapan terkait senilai US$13.9 miliar (Rp200 triliun).
Pembelian pesawat tempur Rafale buatan Prancis menandai babak baru kerja sama strategis Indonesia dan Prancis. Kedua negara memiliki intensi yang sama dalam isu stabilitas dan kesejahteraan di Indo-Pasifik. Di Asia, Indonesia menjadi pengguna Rafale kedua setelah India.
Bagi kedua negara, kerja sama itu diharapkan dapat memperkuat hubungan yang dibangun sejak 1950. Kemenhan pun menyambut baik rencana pengembangan mekanisme kerja sama 2+2 antara Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan kedua negara untuk peningkatan kerja sama bilateral.
Menurut pengamat pertahanan, pembelian pesawat-pesawat itu dilakukan ketika Indonesia sedang berusaha memperkuat pertahanannya untuk meningkatkan posisi tawar di kawasan Asia Pasifik. Sehingga dapat memperkuat postur pertahanan Indonesia di tengah keterbatasan alutsista dan anggaran. Dalam kondisi keterbatasan kita, pembelian 42 pesawat jet tempur Rafale ini dianggap sangat penting – karena bisa digunakan untuk patroli, serangan spesifik, serangan kapal, serangan ke darat, kemudian menghadapi pertempuran udara jarak dekat. Jadi sangat layak untuk kita miliki.
Lalu, apakah pembelian alutsista itu akan mengubah keseimbangan dasar militer di kawasan? Serta bagaimanakah implikasinya bagi dinamika geopolitik di kawasan Indo-Pasifik di tengah ‘panas-dinginnya’ ketegangan antara As dan China?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Laksamana Madya TNI Prof. Dr. Ir. Amarulla Octavian, S.T., M.Sc., DESD (Rektor Universitas Pertahanan RI) dan Dinna Prapto Raharja, Ph.D (Pendiri Synergy Policies & Associate Professor bidang hubungan internasional Universitas Bina Nusantara Jakarta). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: