Semarang, Idola 92.6 FM – For the things we have to learn before we can do them, we learn by doing them. – Aristoteles [Untuk hal-hal yang harus kita pelajari sebelum kita dapat melakukannya, kita belajar dengan cara melakukannya.. (bukan dengan mengucapkannya)]
Kutipan dari Aristoteles itu menjadi relevan ketika cuplikan wawancara reporter TV One dengan mantan Kapolres Purworejo AKBP Rizal Marito mendadak viral. Dalam kesempatan itu Rizal menyebut zikir Hasbunallah wani’mal wakil biasanya digunakan untuk perang. Rizal merespons kedatangan aparat yang disambut masyarakat Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dengan zikir tersebut.
Sontak saja jawaban Rizal itu membuat banyak warganet yang mengoreksi. Mereka berusaha meluruskan tudingan Rizal jika zikir tersebut tidak terkait dengan perang.
Ketua Majelis Ulama Indonesia, KH Cholil Nafis pun meluruskan pernyataan eks Kapolres Purworejo yang menganggap zikir yang diucapkan masyarakat Desa Wadas sebagai tanda bersiap perang. Menurut Nafis, zikir tersebut tidak ada kaitannya dengan perang. Zikir hasbunallah wani’mal wakil itu merupakan sikap menyerahkan urusan kepada Allah dan mohon perlindungan-Nya.
Lantas, ketika seseorang pejabat publik mencoba menganalisa dengan menggunakan “peralatan” (tools) yang tak terlalu dikuasai, maka apa jadinya? Apalagi dilakukan oleh seorang perwira menengah yang menjabat sebagai Kapolres? Apa yang mesti dilakukan agar pejabat publik terhindar dari salah kutip ajaran agama, yang memang bukan domainnya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: KH Maman Imanulhaq, Pengasuh Ponpes Al Mizan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, Nahdliyin, dan anggota DPR RI dari Fraksi PKB. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: