Semarang, Idola 92.6 FM – Menurut Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Aan Eko Widiarto, banyak persoalan legislasi selama beberapa tahun ini terjadi akibat proses penyusunan ataupun substansi hukumnya yang represif. Artinya, hukum dibuat hanya berdasarkan kehendak penguasa tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat. Lebih dari itu, prosesnya berjalan dengan sangat cepat.
Hal itu dikatakan Aan menyikapi revisi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan atau UU PPP yang terkesan dikebut. Oleh karena itu, menurut Aan, revisi UU PPP diharapkan tidak hanya untuk memuluskan perbaikan UU Cipta Kerja yang dianggap inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Diketahui, DPR terus mengebut UU PPP. Hal itu sebagai langkah awal untuk menindaklanjuti putusan MK terkait UU Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional bersyarat. Pemerintah dan DPR sepakat memperbaiki UU PPP dan RUU perubahan kedua UU PPP itu sudah disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR Selasa lalu.
Lantas, apa sesungguhnya yang terjadi ketika proses pembentukan legislasi terkesan disusun secara ugal-ugalan? Benarkah legislasi dibuat hanya berdasarkan kehendak penguasa tanpa mendengarkan aspirasi publik? Lalu, bagaimana mestinya memperbaiki kondisi tersebut?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Aan Eko Widiarto (Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang) dan Rizky Argama (Ahli Hukum Tata Negara dan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: