Semarang, Idola 92.6 FM – Terorisme masih menjadi ancaman global—termasuk di Indonesia. Bahkan, saat ini, terorisme menjadi masalah utama di Indonesia yang belum mampu diatasi—meski berbagai upaya terus dilakukan.
Salah satu upaya untuk mencegah penyebaran terorisme yang terkini, Polri berencana akan memetakan masjid-masjid. Polisi bakal memberikan warna dan kategori pada sejumlah masjid. Meski belum dijelaskan lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana cara mengelompokkan kategorisasi, kabarnya beberapa masjid sudah dicap ‘keras’.
Hal itu dikatakan Direktur Keamanan Negara Baintelkam Polri Brigjen Umar Effendi di hadapan sejumlah petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengikuti agenda Halaqah Kebangsaan Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme pada Rabu 26 Januari lalu.
Gayung bersambut, rencana tersebut segera menuai pro dan kontra. Pemetaan oleh kepolisian ini dinilai dapat memicu kesalahpahaman hingga kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Kepolisian pun bisa dianggap diskriminatif, karena hanya menyasar tempat ibadah umat Islam.
Selain itu, rencana pemetaan masjid juga bisa berimplikasi pada dua hal: Yang pertama, “LABELING“ dimana seakan-akan ada sejumlah masjid yang “dianggap” suspect; meskipun yang kedua, bisa juga menjadi langkah preventif dan pre-emptif yang diperlukan untuk mencegah berkembang dan penularan paham-paham radikal.
Lalu, bagaimana agar pemetaan itu nantinya tidak menjurus ke arah labeling, melainkan menjadi upaya preventif dan pre-emptif?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Prof. Irfan Idris (Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)); Stanislaus Riyanta (Pengamat Intelijen dan Terorisme Universitas Indonesia (UI)); dan Ismail Hasani (Direktur Eksekutif Setara Institute). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: