Ambang Batas Pencalonan Presiden, Kenapa Mesti Dipertahankan?

Kotak Suara Kardus
photo/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Meski telah berulang kali digugat dan berkali-kali ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), beberapa pihak terus saja menggugat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Setelah kalangan politisi, parpol, anggota DPD RI, hingga puluhan WNI diaspora, baru-baru ini gugatan ambang batas presiden juga dilakukan ASN. Seorang ASN asal Jakarta bernama Ikhwan Mansyur Situmeang juga mengajukan judicial review terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu terkait presidential threshold 20 persen ke MK.

Kini, di lini massa pun mulai muncul beberapa pihak yang menggaungkan gerakan “Salam 0 Persen”–sebagai simbol aspirasi penghapusan presidential threshold dalam Pemilu 2024 mendatang.

Kita ketahui, presidential threshold merupakan ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Sejak UU Pemilu disahkan pada 2017, tercatat setidaknya sudah ada 13 gugatan terhadap presidential threshold. Meski begitu, belum ada satu pun gugatan yang dikabulkan MK.

Maka, jika penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berpotensi mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan–karena telah mengakibatkan masyarakat kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta Pemilu.

Lalu, kenapa presidential threshold tetap kekeuh dipertahankan? Apa saja hal baik (kemaslahatan) dari ditetapkannya PT 20%? Lalu bagaimana, kalau MK tetap bergeming atas desakan warga bangsa?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Prof Denny Indrayana (Pengamat Hukum Tata Negara/ pengacara penggugat presidential threshold); Fahri Hamzah (Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia); dan Hadar Nafis Gumay (Peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit)/ mantan Komisioner KPU RI). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News