Semarang, Idola 92.6 FM – Nama Mohammad Hatta sudah tak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Selain berjasa besar bagi kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta–sapaan akrabnya, juga memiliki rekam jejak sebagai seorang sosok teladan yang sangat anti terhadap perilaku korupsi.
Ketegasan Bung Hatta perihal korupsi juga tercermin pada hal yang sederhana. Pada suatu ketika, Hatta menegur sekretarisnya karena menggunakan tiga lembar kertas kantor Sekretariat Wakil Presiden untuk mengirim surat pribadi. Menurut Hatta, kertas itu merupakan aset negara yang merupakan uang rakyat. Hatta pun mengganti kertas tersebut dengan uang pribadinya.
Ada banyak kisah teladan lain dari sosok-sosok anti-korupsi seperti Bung Hatta—di mana mereka tak menolerir korupsi sekecil apapun. Bahkan, meski hanya tiga lembar kertas.
Maka, kita pun cukup kaget, ketika sosok pimpinan KPK justru seolah mengabaikan aspek kehati-hatian, serta terkesan menolerir praktik korupsi kepala desa dan tak perlu menghukumnya.
Baru-baru ini, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata, berpendapat kepala desa bisa mengembalikan uang yang dikorupsi kecil tanpa harus dipenjara lewat putusan pengadilan. Menurut dia, langkah tersebut bisa dilakukan jika uang yang dikorupsi tidak bernilai besar. Alex menilai lebih tepat kepala desa tersebut dipecat berdasarkan musyawarah yang melibatkan masyarakat setempat.
Pria yang kini memasuki periode kedua sebagai Komisioner KPK itu mengatakan, pemecatan kepala desa yang terbukti korupsi bisa menimbulkan efek jera bagi kepala desa lainnya. Ia menjelaskan tolok ukur keberhasilan memberantas korupsi bukan dengan ukuran berapa banyak orang yang dipenjara.
Lantas, ketika pimpinan KPK menyebut bahwa kepala desa yang korupsi kecil tak usah dipenjara, maka apa artinya bagi spirit perang terhadap korupsi yang selama ini sudah kita lakukan? Pernyataan tersebut, apakah tidak kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi? Selain itu, apakah korupsi hanya ditentukan oleh besaran nilai atau nominalnya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Hibnu Nugroho (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto/ Tergabung juga dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi); Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta); dan DR Tuti Budi Rahayu (Dosen Sosiologi Fisip Universitas Airlangga Surabaya). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: