Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah upaya menjaga nyala api pemberantasan korupsi agar tidak padam, sejumlah pihak menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA). Hal itu seolah membuat nyala api pemberantasan korupsi kian redup.
Baru-baru ini, MA menghapus syarat koruptor wajib menjadi “justice collaborator” atau bekerja sama dengan penegak hukum, demi bisa mendapatkan remisi atau pemotongan masa hukuman. Hal ini pasca keputusan MA yang mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 atau yang dikenal dengan PP pengetatan remisi koruptor. MA mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Subowo dan empat rekannya yang saat ini sedang menjalani pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Kelas IA, Bandung, Jawa Barat.
Penghapusan kewajiban menjadi “justice colaborator” dinilai oleh sebagian kalanan sebagai sikap yang kian permisif pada korupsi. Namun, di sisi lain, merespons putusan MA tersebut, masyarakat sipil juga menilai ada beberapa alternatif yang dapat ditempuh agar koruptor tak mudah memperoleh remisi.
Sebab, selama pemberian remisi bagi koruptor selama ini dinilai tak akuntabel dan transparan. Salah satu alternatif itu, perlu didorong agar hakim memberikan putusan mencabut hak remisi terhadap koruptor selain memutus hukuman penjara.
Lantas, APA sesungguhnya goals yang ingin dicapai dari Keputusan MA yang menghapus syarat “Justice Collaborator” bagi napi korupsi untuk memperoleh remisi? Dan, apakah implikasinya akan semakin mempersulit upaya perang melawan korupsi? Lalu, apa yang mesti kita tempuh untuk menekan tindak pidana korupsi?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Azmi Syahputra (Dosen hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta/ Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (ALPHA)); dan Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta). (her/ yes/ ao)
Dengarkan podcast diskusinya: