Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah situasi genting Covid-19 yang kita hadapi saat ini beberapa waktu terakhir, poster-poster yang menyerukan hentikan ekspose atau upload pemberitaan seputar pandemi Covid-19 justru beredar luas di kalangan publik. Mulai dari mereka yang mengatasnamakan Warga Kota Cirebon, Warga Yogyakarta, Warga Sidoarjo, Gresik, hingga Warga Kabupaten Lamongan.
Padahal, tanpa berita fakta terkini pandemi, warga bisa tak teredukasi dan abai pada protokol kesehatan. Selain itu, berita fakta juga sesungguhnya bisa menjadi rujukan, memastikan bahwa informasi tersebut bukan kabar hoaks atau infodemi.
Sejumlah pihak menilai, munculnya seruan “stop berita Covid-19” ini menjadi semacam letupan emosi dari akumulasi kejenuhan warga atas banyaknya informasi soal virus corona. Di sisi lain, hal itu dimanfaatkan oleh segelintir orang yang memanfaatkan situasi dengan membuat gerakan penolakan…entah tujuan apa di baliknya.
Padahal, di sisi lain, yang tak kalah penting dan ini tak banyak dipahami sebagian publik, lenyapnya berita virus corona justru dikhawatirkan akan melenakan masyarakat bahwa kondisi baik-baik saja. Padahal, sejatinya sedang genting alias tidak baik-baik saja.
Lantas, memahami munculnya fenomena ajakan stop berita Covid-19, apa baik-buruknya? Apakah lebih baik “toxic positivity” akibat tidak adanya berita, sehingga seakan keadaan tenang, padahal membahayakan? Atau kondisi dimana para jurnalis melakukan pemantauan dan melaporkan ke masyarakat agar pada waspada?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Sasmito Madrim (Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia); Ahmad Arif (Wartawan Kompas); dan Hendri Satrio (Pengamat Komunikasi Politik). (her/ yes/ ao)
Dengarkan podcast diskusinya: