Semarang, Idola 92.6 FM-Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah masuk ke dalam rencana strategis. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Untuk diketahui, pada 2017 merupakan pertama kalinya Kementerian Keuangan bersama Bank Indonesia (BI) mengajukan RUU Redenominasi Mata Uang.
Saat itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Gubernur Indonesia (periode 2013-2018) Agus DW Martowardojo mengajukan permohanan langsung RUU Redemoninasi Mata Uang kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta. Respons Presiden Jokowi dikabarkan kala itu menyambut baik dan siap untuk dibicarkan oleh para legislator atau dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Namun sayangnya, sampai sejak 2018 hingga 2020, RUU Redenominasi tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas). Perubahan harga rupiah ini pernah dijelaskan lengkap dalam kajian Bank Indonesia (BI). Redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nol-nya saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang). Setelah redenominasi, uang pecahan Rp100 ribu akan menjadi Rp100, uang Rp50 ribu akan berubah menjadi Rp50, dan uang Rp20 ribu akan menjadi Rp20.
Lantas, setelah sekian lama tak ada kabar, pemerintah memasukkan Rancangan Undang-undang tentang Redenominasi Rupiah ke dalam rencana strategis. Sudah mendesakkah? Apa manfaat langsung dengan penerapan kebijakan ini? Apa plus-minus? Apa pula yang mesti disiapkan sejak sekarang? Mengulas ini, radio Idola Semarang mewawancara Direktur Riset CORE dan Pakar Moneter dan Perbankan, Dr Piter Abdullah. (her)