Semarang, Radio Idola 92,6 FM – Bupati kutai timur, Kalimantan Timur, Ismunandar dan Ketua DPRD kutai Timur, Encek UR Firgasih, kamis pekan lalu ditangkap oleh KPK di sebuah hotel Di Jakarta. Keduanya―yang juga pasangan suami istri―ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek infrastruktur, beserta tiga kepala dinas Pemkab Kutai Timur.
Ismunandar disangka berperan sebagai penjamin anggaran rekanan agar tidak dipotong. Sementara Encek selaku ketua DPRD mengintervensi penunjukan pemenang proyek. Sedangkan para kepala dinas berperan memenangi proyek, mengatur penerimaan uang, dan mengatur pembagian jatah proyek.
Operasi tangkap tangan terhadap Bupati dan ketua DPRD Kutai Timur oleh komisi pemberantasan korupsi sungguh menyayat perasaan public. Di tengah pandemi korona, ketika semua pihak sedang berjuang antara hidup dan mati, atau terimbas secara ekonomi … ada pejabat publik yang tega melakukan korupsi. Apabila kasus ini nantinya terbukti di pengadilan, maka hal ini menunjukkan betapa Korupsi Kolusi dan Nepotisme―yang dulu menjadi tujuan reformasi―kini diperagakan secara sempurna antara penguasa, legislator dan pengusaha.
Korupsi ini kian ironis, karena dilakukan di tengah upaya segenap masyarakat yang tengah terengah–engah menghadapi pandemic. Pemimpin yang seharusnya mengerahkan sumber daya, termasuk pengorbanan diri, justru mencari keuntungan pribadi. Hal ini juga menunjukkan, bahwa korupsi tidak akan pernah jera, dan tak ada matinya. Kendati sempat muncul narasi, bahwa korupsi di masa pandemi bakal dihukum mati, tapi nyatanya syahwat merampok uang negara tak kunjung jera. Lalu, usaha apa saja yang mesti diperkuat, agar pemberantasan kasus korupsi tidak jalan di tempat?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan Prof Topo Santoso -Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, dan Yuris Rezha Kurniawan -Peneliti PUKAT UGM Yogyakarta. ( her )