Semarang, Radio Idola 92,6 – Kolaborasi riset―antarpihak terkait yang saling mengisi―terbukti membuahkan sejumlah inovasi sebagai solusi mengatasi kondisi darurat Pandemi Covid-19. Gairah bekerja sama ini diharapkan terus dipelihara sebagai atmosfer riset pada masa mendatang. Kepercayaan para pihak itu perlu terus dijaga, sehingga mampu melahirkan inovasi yang bisa diterima pasar dan memiliki daya tahan di pasaran.
Pada satu sisi, kita patut gembira dengan kondisi ini tetapi di sisi yang lain, atmosphere itu tidak akan berkelanjutan kalau paradigma kita sebagai bangsa tidak kunjung berubah. Dalam politik anggaran, misalnya, biaya riset masih kita lihat sebagai Liabilities alias beban biaya … bukan investasi untuk Assets bangsa, yang di masa depan dapat meningkatkan competitive advandtages bahkan daya saing bangsa. Itulah kenapa, prosentase dana riset kita di banding Produk Domestik Bruto (PDB), masih berada di posisi paling rendah dibanding negara-negara Asia Tenggara. Maka tak heran, kalau sayup-sayup sering kita dengar, banyak peneliti kita yang didanai oleh pihak asing/ dan juga digunakan untuk kepentingan pihak asing.
Maka, mungkinkah momentum sekarang ini, kita jadikan langkah besar untuk melakukan paradigm shift atau pergeseran paradigma bagi seluruh bangsa, dari berpikir hari ini menjadi berpikir untuk mengantisipasi masa depan? Bukankah sebuah pepatah tua telah mengajarakan, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian; kenapa kini seolah berubah menjadi: “bersenang-senang dahulu, malah mati kemudian?”
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan radio idola mewawancara Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dan Dr. Bambang Setiadi-Ketua Dewan Riset Nasional.