Semarang , Radio Idola 92,6 FM – Seolah seperti siklus tahunan, kisruh dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) selalu terulang. Ini seolah menandakan ada satu persoalan di dunia pendidikan kita yang masih belum mampu terurai. Sistem zonasi yang memiliki tujuan mulia—masih harus terus dievaluasi dan diperbaiki. Mengingat sesuai amanat UUD 1945, semua insan muda Indonesia memiliki hak yang sama dalam memeroleh akses pendidikan.
Dalam beberapa hari terakhir, jelang ajaran baru pendidikan, isu penerimaan siswa sekolah tidak hanya tersita pada zonasi atau afirmasi, tetapi pada persoalan usia. Sehingga, meski sama-sama pintarnya, maka calon siswa yang lebih diprioritaskan adalah yang usianya lebih tua. Hal ini dikeluhkan banyak orangtua murid serta siswa, khususnya di DKI Jakarta.
Di luar faktor usia seperti yang ramai di Jakarta, proses penerimaan siswa baru di negara kita juga punya sejumlah persoalan lain di berbagai daerah. Di antaranya jumlah lulusan SMP jauh lebih banyak daripada kapasitas SMA Negeri yang banyak diburu. Sekolah favorit tertentu dituju oleh peminat dalam jumlah berlebih. Juga ada faktor titipan calon siswa dari pejabat atau pemangku kepentingan lain. Banyak kasus yang marak di Jawa Tengah—orangtua menggunakan Surat Keterangan Domisili (SKD) palsu—demi agar anaknya diterima di sekolah favorit.
Lantas, kenapa kisruh PPDB masih terus saja terulang setiap tahun? Ke depan, perbaikan apa yang mestinya dilakukan demi pemerataan akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang mewawancarai Komisioner Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Bidang Pendidikan-Retno Listyarti. ( Her )