Menimbang Politik Digital di Tengah Ketidakpercayaan Publik pada Lembaga Politik dan Perwakilan

Politik Digital karya Agus Hiplunudin
Ilustrasi Politik Era Digital karya Agus Hiplunudin.

Semarang, Idola 92.6 FM – Kesenjangan merupakan salah satu problem demokrasi pascareformasi. Peningkatan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2009-2018 tak diikuti kepuasan publik terhadap kinerja kemajuan demokrasi. Performa dua lembaga demokrasi (parpol dan legislatif) paling disorot. Hingga 2018, indeks peran parpol tergolong “baik” yakni 82,1. Namun, indeks peran DPRD buruk yakni 60.

Demikian dikemukakan Wawan Sobari, Dosen Bidang Politik Kreatif dan Ketua Prodi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya dalam opini di Kompas, Senin 6 April 2020. Menurut Wawan, publik menunjukkan penilaian serupa. Survei Charta Politika pada Agustus 208, survey ahli LIPI (Agustus 2018) dan Alvara Research (Agustus 2019) mengungkapkan kepuasan terendah pada parpol dan lembaga legislatif. Kepuasan ini, jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kepuasan pada lembaga demokrasi lain.

Menurut Wawan, perbedaan ini ironi demokrasi. Di satu sisi, demokrasi menganjurkan praktik perwakilan dalam politik dan pemerintahan. Di sisi lain, kepercayaan publik ke lembaga politik dan perwakilan rendah.

Lantas, seberapa signifikan ke depan posisi dan peran gerakan masyarakat sipil melalui “politik digital” di tengah ketidakpercayaan publik pada Lembaga Politik dan Perwakilan? Apakah ini juga bisa diartikan, melalui gerakan politik digital, rakyat termasuk civil society—sebagai pemilik kekuasaan tertinggi yang memberi mandat kepada negara dan pemerintah, kini seolah memiliki kanal aspirasi efektif yang baru? Adakah hal yang perlu diperhatikan dengan instrument digital ini? Guna mendiskusikan ini, radio Idola Semarang mewawancara Dosen Bidang Politik Kreatif; Ketua Prodi Magister Ilmu Sosial FISIP Universitas Brawijaya, Malang Wawan Sobari, Ph.D. (Heri CS)

Berikut wawancaranya:

Ikuti Kami di Google News