Semarang, Idola 92.6 FM – Kasus perundungan atau bullying seolah tak ada habisnya. Setelah kelar satu masalah yang mengemuka, lantas berusaha dirampungkan, lalu di titik lain akan ada kemungkinan muncul lagi perundungan baru.
Sebelumnya, seorang siswa SMPN 16 Kota Malang, Jawa Timur sampai harus diamputasi jarinya akibat bullying. Bahkan, hingga sekarang korban berinisial MS ini masih harus mendapatkan pendampingan psikologis.
Terkini, kasus bullying terjadi di salah satu SMP di Purworejo. Video seorang siswi dipukul dan ditendang tiga siswa beredar di media sosial sejak beberapa hari lalu. Dalam video terlihat seorang siswi tengah duduk di kelas. Dia berada di pojok dan terdengar menangis ketika tiga siswa memukuli dan menendangnya berkali-kali. Bahkan ada yang memukulnya dengan kayu dan gagang sapu. Hingga video berakhir, si siswi hanya meringkuk-merapat di dinding dengan tak berdaya.
Sejauh ini, tiga siswa yang terlihat memukul siswa dalam video sudah ditangkap oleh Polres Purworejo. Kepolisian juga telah memeriksa sejumlah saksi dan juga mengundang orang tua korban. Terkait kasus ini, Polisi menetapkan tiga orang tersangka yang terekam melakukan tindakan perundungan.
Atas rentetan kasus demi kasus perundungan yang seolah tak dapat dicegah—membuat kita prihatin. Namun, prihatin saja tentunya tidak cukup. Karena “satu dua” kasus perundungan yang sekarang kita ributkan, bisa saja layaknya fenomena gunung es. Di mana yang tidak terungkap bisa lebih banyak lagi.
Berdasarkan data, bullying hampir terjadi setiap tahun di Indonesia. Per-Mei 2019 lalu, ada 37 kasus yang dilaporkan ke KPAI baik pelaporan secara langsung maupun online. Dari 37 kasus itu, sebanyak 25 kasus (67%) terjadi di tingkat SD, 5 kasus di tingkat SMP, 6 kasus di tingkat SMA dan 1 kasus di tingkat Perguruan Tinggi. Sedangkan dari data UNICEF, pada tahun 2016 sebanyak 41-50% remaja pada usia 13-15 tahu pernah mengalami cyberbullying.
Lalu, apa akar masalah yang mendorong anak-anak itu melakukan perundungan atau bullying?
Perilaku bullying merupakan tingkah laku yang kompleks. Meski tidak ada seorang anak pun yang secara langsung diajari untuk mem-bully, tapi ada berbagai faktor yang bisa mempengaruhi anak sehingga berkembang menjadi pembully. Di antaranya faktor biologis dan temperamen, pengaruh keluarga, teman sepergaulan (peer), dan lingkungan, serta tontonan. Menurut penelitian, gabungan dari faktor-faktor itu dapat mendorong munculnya perilaku perundungan.
Lantas, melihat problematika ini, mustahilkah memutus mata rantai perundungan di sekolah? Lalu, terobosan baru seperti apa yang mesti dilakukan, agar perundungan tidak terus-menerus terjadi? Apa sesungguhnya, pokok pangkal munculnya perundungan?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: JC Tukiman Taruna (Pengamat Pendidikan Unika Soegijapranata Semarang) dan Devie Rahmawati (Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia). (Heri CS)
Berikut diskusinya:
Listen to 2020-02-14 Topik Idola – JC Tukiman Taruna – Mustahilkah, Memutus Mata Rantai Perundungan di Sekolah? byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-02-14 Topik Idola – JC Tukiman Taruna – Mustahilkah, Memutus Mata Rantai Perundungan di Sekolah? byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-02-14 Topik Idola – Devie Rahmawati – Mustahilkah, Memutus Mata Rantai Perundungan di Sekolah? byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-02-14 Topik Idola – Devie Rahmawati – Mustahilkah, Memutus Mata Rantai Perundungan di Sekolah? byRadio Idola Semarang on hearthis.at