Semarang, Idola 92.6 FM – Posisi Menteri Hukum dan HAM atau Menkumham menjadi sorotan banyak pihak mengingat perannya begitu krusial dalam mengawal lahirnya perundang-undangan yang menjawab persoalan bangsa. Namun, muncul paradoks. Di satu sisi, menteri merupakan jabatan politis. Memilih menteri menjadi hak prerogatif presiden. Sebagai bagian dari dinamika politik merupakan praktik yang wajar. Kita mafhum, ini menjadi kompromi politik balas jasa melalui bagi-bagi jatah kue jabatan kursi menteri bagi barisan parpol koalisi.
Tapi, di sisi lain, posisi Menkumham dan beberapa jabatan lain seperti Jaksa Agung akan menjadi sorotan publik. Posisi Menkumham akan menempati posisi krusial terkait sejumlah RUU yang akan dilanjutkan pembahasannya oleh DPR bersama pemerintah setelah belum lama ini ditunda. Menkumham diharapkan dari kalangan profesional di luar partai politik yang tidak hanya memahami politik legislasi, namun juga memiliki loyalitas tunggal kepada presiden. Figur Menkumham idealnya juga memiliki pemahaman bahwa UU yang baik mesti memenuhi 3 aspek, yakni yuridis, filosofis, dan sosiologis.
Lantas, menyikapi ini, jalan tengah seperti apa yang mesti diperhatikan baik oleh presiden maupun barisan koalisi? Menteri dengan kapasitas seperti apa yang diperlukan mengingat betapa pentingnya posisi Menkumham?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni Zainal Arifin Mochtar (Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dan Prof. Syamsuddin Haris (Peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI). (Heri CS)
Berikut diskusinya:
Listen to 2019-10-08 Topik Idola – Zainal Arifin Mochtar byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2019-10-08 Topik Idola – Zainal Arifin Mochtar byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2019-10-08 Topik Idola – Prof. Syamsuddin Haris byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2019-10-08 Topik Idola – Prof. Syamsuddin Haris byRadio Idola Semarang on hearthis.at