Bagaimana Menjadikan Komoditas Perberasan sebagai Agenda Utama Pemerintah?

Semarang, idola 92.6 FM – Selama beberapa tahun terakhir kondisi stok beras pemerintah begitu mengkhawatirkan. Padahal, stok beras yang dikuasai pemerintah selalu menjadi tolok ukur kondisi ketahanan pangan Republik ini. Implikasi kenyataan ini adalah pertaruhan kedaulatan dan ketahanan pangan bangsa.

Pengalaman empiris tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kegagalan pemenuhan target pengadaan gabah, beras oleh Perum Bulog selalu menimbulkan kegaduhan. Nyaris tidak ada upaya yang benar-benar terencana agar kegaduhan tidak terulang. Ujung-ujungnya juga selalu sama: kondisi kekurangan stok beras di lapangan selalu menjadi justifikasi atau alasan pembenaran untuk ”panen” beras di pelabuhan alias mengimpor beras. Dan, ini secara tidak langsung juga merugikan para Petani Kita.

Seolah sebuah siklus, dari satu pemerintah ke pemerintah berikutnya, persoalan perbesaran berputar pada hal yang itu-itu terus. Harga gabah menurun bersamaan dengan Panen raya. Produksi padi melimpah berdampak pada harga gabah di tingkat petani turun. Ini artinya, persoalan beras berulang setiap kali panen raya padi yang mengakibatkan harga gabah jatuh. Tahun ini panen raya mundur pada April hingga Mei 2019.

Diketahui, harga gabah di tingkat petani di sejumlah sentra masih di bawah ongkos produksi dan harga pembelian pemerintah. Kondisi kritis ini diperkirakan berlangsung hingga Mei 2019 jika Perum Bulog tidak gencar menyerap gabah petani.

Harga gabah kering panen di Indramayu dan Cirebon Jawa Barat misalnya, berkisar Rp3.400 hingga Rp3.750 per kilogram dalam sepekan terakhir. Angka itu, di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) dengan fleksibilitas 10 persen seperti HPP gabah kering panen Rp4.070 per kg di tingkat petani. Selain itu, harga jual gabah di sebagian sentra juga telah turun di bawah ongkos produksi yang sekitar Rp4.200 per kg.

Jika persoalan ini tak berhasil di atasi—ini sesungguhnya menjadi ancaman bagi Indonesia—negeri yang dikenal sebagai agraris. Ancaman itu tak semata pada aspek perekonomian. Lebih dari itu, ini juga mengisyaratkan betapa gentingnya masa depan kedaulatan pangan bangsa. Dampak buruk lainnya—ini akan membuat profesi petani akan semakin terpuruk dan lambat laun ditinggalkan. Sebab, tak menguntungkan dan tak mendapat perhatian serius dari Negara.

Lantas, mengingat betapa strategis dan krusialnya persoalan beras ini, kenapa seolah permasalahan ini menjadi agenda rutin yang berulang tiap tahun? Tidakkah ada upaya antisipasinya? Lalu ke depan, apa yang mesti dilakukan agar sektor pangan ini menjadi agenda utama—karena ini juga berkaitan dengan kedaulatan pangan negara kita?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola kita akan berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Dwi Andreas Santosa, MS (Guru Besar Fakultas Pertanian IPB/ Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Ind-AB2TI) dan M Nur Udin (Sekjen Asosiasi Petani Indonesia).

Berikut diskusinya:

Ikuti Kami di Google News