Parpol, di Antara Praktik Demokrasi Elitis dan Akrobat Politik

Semarang, Idola 92.6 FM – Proses penentuan pasangan capres-cawapres yang akan berkontestasi pada Pemilu 2019 cenderung tak transparan dan elitis. Jika lazimnya, sebuah ajang mereka yang akan ikut ambil bagian berlomba adu cepat—tetapi, dari proses pendaftaran kandidat capres-cawapres ini kita melihat justru mereka adu lambat. Ibarat pertandingan sepakbola, menunggu waktu injury time untuk mencetak gol ke jala lawan. Dalam konteks ini, berlomba paling akhir mendaftarkan kandidat yang diusung. Dan, terbukti hari ini sebagai hari terakhir pendaftaran yakni 10 Agustus 2018, dua pasangan baru mendaftarkan.

Pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah-Gun Gun Heryanto menilai, kondisi ini merupakan konsekuensi dari system multipartai ekstrem yang ada. Sistem itu membuat antarpartai atau kekuatan politik saling mengunci hingga penentuan pasangan harus dilakukan pada saat-saat akhir. Kondisi ini akhirnya membuat kandidat bisa muncul dari mana saja dan tanpa proses yang jelas. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, publik seharusnya dapat menilai seorang kandidat sejauh jauh hari sebelum ia dicalonkan. Menurut Gun Gun, ini menjadi tantangan dalam demokrasi kita.

Lantas, di tengah tarik ulur dan alotnya penentuan cawapres, fenomena apa sebenarnya yang terjadi dengan situasi perpolitikan kita saat ini? Apa yang terjadi dengan partai politik kita? Benarkah ini mencerminkan praktik demokrasi elitis dan sarat transaksional? Dalam kondisi semacam ini apa yang bisa dilakukan publik?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Panji Anugrah (Peneliti Politik Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI)) dan Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah). [Heri CS]

Berikut diskusinya:

Ikuti Kami di Google News