Semarang, Idola 92.6 FM – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membuat para ekonom mewanti-wanti karena jika depresiasi terus berlanjut maka harga kebutuhan pokok menjelang lebaran dan subsidi energi akan melesat. Bank Indonesia pun didorong menempuh langkah jangka pendek menaikkan suku bunga acuannya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Pada beberapa hari terakhir, kurs rupiah menembus level lebih dari Rp14.000 per dolar AS. Ini merupakan titik terendah dalam waktu lebih dari dua tahun belakangan. Imbasnya, cadangan devisa terus tergerus untuk intervensi rupiah. Pelemahan nilai tukar rupiah sudah diprediksi sebelumnya, dengan melihat ekspektasi pasar terhadap kenaikan bunga acuan bank sentral AS, Fed Fund Rate (FFR) sebanyak tiga hingga empat kali pada tahun ini.
Meski begitu, Direktur Eksekutif di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengungkapkan bahwa meski terprediksi, pelemahan ini kurang diantisipasi. Sementara, menurut ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail, pelemahan rupiah ditopang faktor eksternal. Salah satunya dari penantian pasar terhadap keputusan AS yang ingin memperpanjang sanksi ke Iran. Hal tersebut telah mengerek harga minyak dan berpotensi membuat defisit migas Indonesia naik.
Lantas, kondisi ini sudah begitu mengkhawatirkan kah? Apa sesungguhnya factor yang membuat dollar begitu perkasa dalam beberapa pekan terakhir? Faktor eksternal atau internal? Lalu, jelang Ramadan dan Lebaran, bagaimana upaya antisipasi dampaknya agar tak membuat harga-harga kebutuhan pokok merangkak naik pula? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang mewawancara Pengamat Ekonomi UI Lana Soelistianingsih. [Heri CS]
Berikut wawancaranya:
Listen to 2018-05-16 Topik Idola – Lana Soelistianingsih byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2018-05-16 Topik Idola – Lana Soelistianingsih byRadio Idola Semarang on hearthis.at