Semarang, Idola 92.6 FM – Saat ini, pemerintah dan DPR tengah merumuskan kembali pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden. Hal itu rencananya akan dimasukan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengkritik munculnya pasal penghinaan presiden dalam RKUHP.
Ia menilai aturan tersebut bisa membawa Indonesia mundur ke era Orde Baru yang menerapkan sistem otoriter. Berdasarkan Pasal 263 draf RKUHP hasil rapat antara pemerintah dan DPR per 10 Januari 2018, seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dapat dipidana penjara paling lama lima tahun. Pasal ini tetap dipertahankan meski sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006. Bahkan, pasal terkait penghinaan Presiden ini diperluas dengan mengatur penghinaan melalui teknologi informasi.
Wahyudi menilai, langkah MK membatalkan pasal tersebut pada 2006 lalu sudah tepat. MK saat itu beralasan, pasal penghinaan Presiden sudah tak sesuai dengan sistem demokrasi yang dianut Indonesia. Wahyudi mengatakan, sepanjang pasal soal penghinaan dipertahankan, maka selama itu pula tafsir longgar soal makna penghinaan akan ada. Tidak ada takaran yang jelas dalam menentukan suatu tindakan masuk dalam kategori penghinaan atau hanya kritik.
Lantas, apa plus-minus pasal penghinaan terhadap presiden dimasukkan dalam RKUHP? Pasal soal ini sebenarnya pernah dibatalkan oleh MK pada tahun 2006, kenapa dimunculkan kembali? Pemerintah beralasan mengkritik presiden dan wakil presiden diperbolehkan namun tak boleh menghina. Bagaimana sebenarnya perbedaan mendasar antara mengkritik dan menghina? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 mewawancara Azmi Syahputra (pengamat hukum Universitas Bung Karno Jakarta). [Heri CS]
Berikut Wawancaranya:
Listen to 2018-02-09 Topik Idola – Azmi Syahputra byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2018-02-09 Topik Idola – Azmi Syahputra byRadio Idola Semarang on hearthis.at