Bagaimana Kita Keluar Dari Jebakan Semantik Istilah Yang Kita Gunakan Sendiri, Berkaca Pada Istilah Pemerintah Atau Government?

Semarang, Idola 92.6 FM – Istilah “pemerintah” merupakan terjemahan dari “government”. Keduanya sama-sama berarti “sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara oleh orang sendirian atau berkelompok yang memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan. Merujuk pada opini Daoed Joesoef, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dalam Kabinet Pembangunan 3 dalam Kompas (15/9), walaupun sama, kedua istilah tersebut mengandung konotasi yang berbeda.

Istilah pemerintah menarasikan perintah penguasa yang rata-rata dialami oleh anak jajahan. Ketika anak ini memegang jabatan publik, berkat kemerdekaan, ada kecenderungan meneruskan praktik penguasa yaitu memberi perintah. Bukan sebaliknya—menyederhanakan, membuat simple. Urusan publik malah dipersulit. Penyelesaian KTP misalnya, yang bisa setengah jam ditunda-tunda sampai mingguan bahkan bulanan.

Adapun istilah government berkonotasi “mengelola kesejahteraan umum”. Indikasi ini mengingatkan orang yang sedang berkuasa agar mengayomi rakyat. Dia sekaligus merupakan abdi rakyat dan abdi Negara. Jabatan publik bukan profesi melainkan vokasi. Hal ini pula yang membedakan paradigma mengenai pemerintahan dan abdi negara di Indonesia dan di Barat. Jika di Indonesia abdi negara dikenal dengan pegawai negeri, maka di Barat, disebut sebagai public servant atau pelayan publik.

Pemakaian bahasa dan konotasi yang berbeda ini tentunya membawa konsekuensi logis pula dalam kenyataannya. Pemerintah di republik ini lebih mendekati tukang perintah ketimbang pengelola kesejahteraan umum. Abdi negara kita lebih menjadi sosok pegawai yang digaji negara ketimbang pelayan masyarakat atau pelayan publik di luar negeri.

Lantas, bagaimana kita keluar dari jebakan semantik dari istilah yang kita gunakan sendiri–berkaca pada istilah government dan pemerintah dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara? Apakah kita mesti meredefinisi bahasa dan maknanya? Atau kita meski mengubahnya? Apa pula sebenarnya yang menyebabkan hal ini seolah terbalik-balik di antara penjabaran dan paradigma?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola 92.6 FM berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Prof Kacung Marijan (Guru Besar Ilmu Politik Unair/Wakil Rektor UNUSA) dan Budi Setiyono (pengamat politik dan Wakil Rektor III Undip). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya:

Ikuti Kami di Google News