Kudus, Idola 92.6 FM – Menyambut kedatangan pemudik yang akan melintas di wilayah Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Pemkab Kudus membuka posko bahagia. Posko berlokasi di pintu masuk Kabupaten Kudus di kawasan Tanggulangin, Jati Wetan.
Posko ini diperuntukan bagi pemudik yang membutuhkan bantuan seperti lokasi wisata, rumah makan maupun penginapan. Terdapat beberapa petugas dan 12 unit armada yang disiapkan secara khusus untuk mengantar pemudik yang membutuhkan bantuan secara gratis.
Bupati Kudus Musthofa mengatakan, pada lebaran kali ini pihaknya membuat posko mudik yang berbeda dengan daerah lain yakni adanya posko bahagia. Keberadaan posko bahagia akan membuat para pemudik yang melintas di wilayah Kudus merasa bahagia karena layanan yang diberikan Pemkab Kudus.
“Harapan kami posko ini akan menjadi role model posko di daerah lain dalam menyambut pemudik”, kata Musthofa saat acara diskusi Panggung Civil Society bertema “Dapatkah Spirit Ramadhan Meningkatkan Akuntabilitas Pejabat Publik”, Selasa (20/6) pagi, yang digelar Radio Idola di @Home Hotel Semarang. Selain Bupati Musthofa, hadir sebagai narasumber: Dr Teguh Yuwono (ahli kebijakan publik Undip Semarang), Prof Masrukhi (rektor Unimus Semarang), dan Tri Lindawati (perwakilan Ombudsman RI Jawa Tengah).
Selain layanan kemudahan bagi pemudik juga disiapkan rest area bagi pemudik untuk beristirahat di taman hutan kota Tanggul Angin. Sehingga, tidak ada pemudik yang kelelahan dan tersesat ketika masuk wilayah Kudus. Selain itu, bagi pemudik yang membutuhkan penginapan gratis juga disiapkan di Grha Colo Lereng Gunung Muria.
“Semua pemudik akan diarahkan melintas ke dalam kota agar mengetahui kondisi wisata yang ada di Kabupaten Kudus”, tandas bupati Kudus dua periode ini.
Perlu Keteladanan
Menurut Kang Mus, panggilan akrab Bupati Musthofa, ramadan bagi seorang pemimpin dimaknai sebagai otopsi atau alat pembedah dan koreksi diri. Ibadah puasa menjadi cerminan kepedulian terhadap sesama. “Bagaimana kita yang berpuasa menghormati orang yang tidak puasa. Ini saya belajar dari pendahulu kami di Kudus yakni Sunan Kudus. Sunan Kudus menyiarkan agama Islam dengan cara damai dan menghargai pemeluk agama lain,” ujar Kang Mus di hadapan puluhan peserta.
Dia menambahkan, sebagai pemimpin mesti menjadi pemimpin kekinian. Artinya, pemimpin yang paham akan kebutuhan. Saat ini, menerapkan sistem aplikasi Menara (Menjaga Amanah Rakyat). Melalui sistem ini, setiap pelayanan 24 jam dipantau oleh publik. “Ini sebagai salah satu cara menguatkan perangkat system untuk mendukung akuntabilitas pejabat publik,” ujar Kang Mus dalam acara yang dipandu penyiar Radio Idola, Nadia Ardiwinata ini.
Untuk meningkatkan akuntabilitas pejabat publik, menurut Kang Mus, perlu keteladanan. Harus ada kesadaran bahwa hidup adalah ketidaksempurnaan. Kehidupan seorang pemimpin adalah tidak sempurna.
“Saya selalu katakan pada rekan-rekan para pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kami, ketidaksempurnaan kita jangan lihat kekurangan orang lain, lihatlah kelebihan orang lain. Kita dianggap sedang baik ini karena kebaikan tuhan sedang menutupi aib kita saat ini. Kalau tuhan sudah buka aib kita, maka kita sudah menjadi orang yang sangat tak berharga. Mari kita berikhtiar yang terbaik untuk diri kita dan masyarakat kita.”
Niat Baik Saja Tidak Cukup, Perlu Perangkat Sistem
Sementara itu, Ahli Kebijakan Publik Teguh Yuwono menyatakan, niat baik saja tidak cukup perlu perangkat sistem yang kuat. Di negara-negara maju, dorongan moral dan mental tidak cukup. Harus didorong dalam sebuah lembaga yang disebut sistem pengelolaan publik. “Kenapa ada ombudsman, salah satunya karena itu. Niat baik saja tidak cukup. Karena ada tekanan dari lingkungan setiap saat. Ada dorongan dari luar dirinya, sehingga membuat seseorang melakukan tindakan-tindakan yang tidak akuntabel,” ujarnya.
Maka terkait dengan Ramadan dan akuntabilitas pejabat publik, kuncinya adalah bagaimana menginternalisasi nilai-nilai agama di dalam proses pemerintahan sehari-hari. Intinya, pengendalian diri, empati, responsif. Menurut Teguh, hikmah orang berpuasa adalah agar orang bisa merasakan orang lain yang lapar.
“Terkait akuntabilitas, bayangkan jika minta pelayanan harus antre, minta pelayanan harus dipaksa berikan sesuatu agar lancar. Itu perasaan-perasaan yang sifatnya empati. Mestinya empati itu dikelola dalam sebuah sistem yang memungkinkan orang tidak punya peluang untuk melakukan tindakan yang tidak akuntabel,” terangnya.
Sementara, Prof Masrukhi menguraikan, puasa harus dipandang sebagai a comprehensif commitment. Artinya, ada kesalehan ritual, kesalehan sosial dan berbagai potensi kebaikan-kebaikan lain yang harus dikembangkan. Ini supaya menjadi paradigma atau pelajaran bahwa di dalam memandang persoalan kehidupan itu harus dipandang secara komprehensif. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan komprehensif.
“Maka ketika pandangan komprehensif, tak ada yang saling memojokkan antara satu dengan yang lainnya.”
Tri Lindawati (perwakilan Ombudsman RI Jawa Tengah) menambahkan, Ramadan tidak mengurangi penyelenggara memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Tahun ini, menjadi pengalaman pertama bagi Ombudsman terkait Penerimaan Peserta Didik Baru SMA dan SMK Negeri Jawa Tengah “online”. Meskipun ada transisi pengalihan kewenangan yang sebelumnya dari kabupaten ke provinsi tak mengurangi layanan.
“Itu tidak mengurangi pelayanan, meskipun dalam pelaksanaan ada catatan. Salah satu catatannya, masih ada mal-administrasi,” tandasnya. (Heri CS)