Mempercepat Reforma Agraria

Semarang, Idola 92.6 FM – Salah satu program pemerintahan Presiden joko widodo dalam menekan angka kemiskinan antara lain melakukan reforma agraria dan perhutanan sosial sebagai pilar utama kebijakan ekonomi berkeadilan melalui pemerataan. Reforma agraria yang dimaksud adalah menyerahkan hak milik atas tanah. Sementara perhutanan sosial ditujukan untuk menyerahkan pengakuan dan izin pengelolaan hutan kepada rakyat. Kedua program itu memiliki tujuan yang sama yakni rakyat punya akses dan kontrol atas tanah, hutan, dan kekayaan alam.

Namun sayangnya, program ini berjalan sangat lambat selama periode 2015 hingga 2016 lalu. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan menyebutkan, sampai awal 2017 realisasi reforma agraria baru mencapai 500 ribu hektar dari target 9 juta hektar pada periode 2015-2019. Sementara untuk perhutanan sosial baru tercapai sekitar 1,5 juta dari target 12,7 juta hektar lahan. Maka dari itu, untuk mempercepat pencapaian target tersebut dibutuhkan sejumlah prasyarat antara lain regulasi khusus, kelembagaan yang kuat, aparat yang kompeten dan jujur, serta anggaran pusat dan daerah yang memadai.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Sajogjo Institute Eko Cahyono mengatakan, reforma agraria memang perlu dipercepat untuk mengatasi kesenjangan penguasaan aset dan kepemilikan lahan. Dari kajian INFID dan Oxfam terungkap bahwa kesenjangan lebih tinggi dialami masyarakat di kota dibandingkan di desa karena laju urbanisasi makin cepat. Sumber daya di desa tak lagi bisa menopang kehidupan warganya terutama karena aset mereka dikuasai elite lokal atau dalam banyak kasus korporasi besar.

Lalu, apa sebenarnya akar masalah masih lambatnya pelaksanaan program reforma agraria ini? Langkah strategis apa yang mesti ditempuh agar percepatan reforma agraria dapat benar โ€“ benar tercapai di tahun ini dan mengurangi disparitas penguasaan asset dan kepemilikan lahan?

Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu Radio Idola 92.6 FM akan berdiskusi bersama dengan beberapa narasumber, yakni: Eko Cahyono (direktur eksekutif Sajogja Institute Bogor) dan Dewi Kartika (sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)). (Heri CS)

Berikut Perbincangannya:

Ikuti Kami di Google News