Pencabutan Hak Politik, Efektifkah Membuat Jera Para Koruptor?

Semarang, Idola 92.6 FM – Vonis rendah untuk koruptor masih menjadi persoalan sehingga efek jera yang dijadikan tujuan pemidanaan belum tercapai. Terkait hal ini, pencabutan hak politik sebagai bentuk sanksi sosial semestinya mulai diterapkan sebagai opsi dalam putusan hakim. Demikian mengemuka dalam diskusi bertajuk “Vonis Tanpa Menjerakan Koruptor” di kantor Indonesia Corruption Watch baru-baru ini.

Peneliti ICW Aradila Caesar mengungkapkan, 76 persen terdakwa selama tahun 2016 divonis ringan di pengadilan tinggi pertama. Rata-rata vonis koruptor selama 2016 adalah 2 tahun 2 bulan penjara. Vonis ini lebih kurang hanya 1/8 hukuman maksimal. Dengan asumsi, ancaman maksimal dalam Undang-Undang Tipikor 20 tahun penjara. Dari penelitian ICW, persoalan vonis ringan ini berulang kali terjadi sejak tahun 2013 hingga 2016. Namun, trendnya menurun setiap tahun.

Di sisi lain, tak jarang hakim justru dinilai tak berpihak kepada jaksa dalam pidana tambahan, seperti pencabutan hak politik. Dari 576 putusan korupsi tahun 2016, hanya ada 7 putusan yang memvonis terdakwa pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Salah satunya, yang terakhir, mantan Ketua DPD RI Irman Gusman yang dicabut hak politiknya di pengadilan tingkat pertama.

Lalu, efektifkah pencabutan hak politik sebagai upaya membuat efek jera bagi para koruptor? Apa pula sebenarnya yang membuat jaksa dinilai gagal memformulasikan hukuman yang tepat bagi terdakwa? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu kami nanti akan berdiskusi dengan Tama S Langkun, Peneliti Divisi Investigasi dan Publikasi ICW. (Heri CS)

Berikut Perbincangannya:

Ikuti Kami di Google News