Semarang, Idola 92.6 FM – Para kader dan simpatisan DPC PDIP menggelar aksi cap jempol darah, baru-baru ini. Aksi itu dilakukan bertepatan dengan peringatan HUT ke-52 PDIP sebagai bentuk dukungan kepada Sekjen Hasto Kristiyanto.
Diketahui, KPK telah menetapkan Hasto Kristiyanto dan advokat Harun Masiku, Donny Tri Istiqomah sebagai tersangka dalam kasus suap yang melibatkan Harun Masiku. Hasto diduga mengatur dan mengendalikan pengacara Harun Masiku untuk melobi Wahyu Setiawan, anggota KPU ketika itu agar KPU menetapkan Harun Masiku sebagai calon anggota DPR RI PDIP terpilih dari Dapil Sumatera Selatan I.
Hasto juga diduga mengatur dan mengendalikan Donny Tri Istiqomah agar aktif mengambil dan mengantarkan uang suap untuk diserahkan kepada Wahyu Setiawan, melalui mantan anggota Bawaslu yang juga eks kader PDIP Agustiani Tio Fridelina. Adapun, Wahyu dan Agustiani sebelumnya telah divonis dalam perkara ini. Senin (13/01), Hasto dikabarkan akan memenuhi panggilan dari KPK untuk dimintai keterangan.
Lalu, ketika cap jempol darah yang merupakan simbol ‘sumpah setia’ dan kesetiakawanan digunakan pada masalah hukum yang lebih menuntut bukti dan logika; dapatkah kedua kutub ini direkonsiliasikan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Hibnu Nugroho (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) Purwokerto) dan Airlangga Pribadi, PhD (Pengamat Politik dari Universitas Airlangga Surabaya). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: